Pada perdagangan awal pekan ini, harga minyak global menguat sekitar 1%, dengan dorongan utama berasal dari eskalasi ketegangan geopolitik di wilayah Timur Tengah. Amerika Serikat melancarkan serangkaian operasi militer terhadap kelompok Houthi di Yaman, yang telah menargetkan kapal-kapal pengangkut minyak di Laut Merah. Langkah ini memicu kekhawatiran akan gangguan pasokan energi global dan mendorong kenaikan harga minyak mentah dunia. Di sisi lain, meskipun ada indikasi penguatan minggu lalu, para analis tetap memperkirakan perlambatan pertumbuhan permintaan minyak akibat ketidakpastian ekonomi global.
Operasi militer AS di Yaman menjadi salah satu faktor utama peningkatan harga minyak pada Senin (17/3/2025). Menurut laporan, serangan udara terhadap kelompok Houthi telah menyebabkan korban jiwa signifikan dan menjadi operasi militer terbesar AS di wilayah tersebut sejak era Donald Trump. Dampaknya, harga minyak Brent mencatat kenaikan hingga US$71,30 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) bergerak di level US$67,90 per barel.
Serangan kelompok Houthi terhadap kapal dagang internasional di Laut Merah telah mengganggu rantai distribusi energi global. Hal ini memicu respons keras dari Washington, yang mengindikasikan bahwa kampanye militer dapat berlangsung selama beberapa minggu. Para pejabat AS menekankan pentingnya menjaga stabilitas jalur transportasi laut untuk mencegah krisis energi lebih lanjut.
Di tengah ketegangan geopolitik, pasar juga merespons negatif terhadap potensi perlambatan ekonomi global. Analis Goldman Sachs memperbarui proyeksi harga minyak mereka, memperkirakan harga Brent pada Desember 2025 akan berada di kisaran US$71 per barel. Proyeksi ini turun sebesar US$5 dibandingkan perkiraan sebelumnya, seiring ekspektasi perlambatan permintaan minyak global.
Berita buruk bagi perekonomian global tidak hanya datang dari ketegangan perdagangan antara AS dan mitra dagangannya seperti China, Meksiko, dan Kanada, tetapi juga dari penurunan sentimen konsumen AS. Data terbaru menunjukkan bahwa kebijakan tarif tinggi pemerintahan Trump telah membebani konsumen dan mengancam stabilitas ekonomi. Federal Reserve AS dijadwalkan mengadakan rapat minggu depan, dengan harapan mempertahankan suku bunga acuan dalam kisaran 4,25%-4,50% sambil terus mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi terhadap pasar global.
Meskipun harga minyak menguat pada awal pekan ini, spekulasi tentang dampak jangka panjang dari ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi global masih menjadi sorotan utama. Kondisi ini menunjukkan bahwa pasar energi tetap rentan terhadap volatilitas, dengan potensi ancaman terhadap stabilitas rantai pasok minyak dunia yang semakin meningkat.