Pada awalnya, ide untuk menggabungkan lembaga penyiaran publik seperti TVRI dan RRI telah muncul sejak November 2011. Usulan ini kemudian diperbarui dengan gagasan penggabungan lebih luas yang melibatkan LKBN Antara. Dukungan terhadap rencana ini berasal dari berbagai pihak di DPR, termasuk Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Eric Hermawan, dan Yulius Setiarto, yang menekankan pentingnya efisiensi, kepentingan nasional, serta fungsi sebagai corong pemerintah. Namun, usulan ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait independensi pers dan potensi penurunan fungsi kontrol sosial media dalam demokrasi.
Dalam atmosfer politik yang semakin dinamis, pembahasan tentang transformasi lembaga penyiaran publik kembali menjadi sorotan. Sejak tahun 2011, konsep penggabungan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti TVRI dan RRI telah berkembang, bahkan mencapai tahap masuknya RUU RTRI ke dalam Prolegnas pada tahun 2015. Meskipun inisiatif tersebut akhirnya tidak terealisasi, perhatian terhadap efisiensi dan sinergi antarlembaga tetap menjadi fokus.
Baru-baru ini, anggota DPR menyuarakan dukungan terhadap langkah konsolidasi yang lebih besar. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, misalnya, menyoroti pentingnya penggabungan RRI, TVRI, dan LKBN Antara menjadi satu entitas yang komunikatif dan efektif. Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Eric Hermawan, yang mengusulkan transformasi ketiga lembaga ini menjadi media negara yang sepenuhnya mendukung agenda pemerintah.
Sementara itu, Direktur Utama Perum LKBN Antara Akhmad Munir meyakini bahwa penggabungan ini dapat menciptakan entitas media yang lebih kuat dan multiplatform. Hal ini diyakini akan meningkatkan produktivitas serta memperkuat posisi media dalam memberikan informasi kepada masyarakat secara efektif. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Direktur Utama LPP TVRI Iman Brotoseno, yang menegaskan pentingnya penggabungan untuk menjadikan media penyiaran publik lebih kuat dan efisien.
Di sisi lain, kekhawatiran tentang dampak terhadap independensi pers mulai muncul. Transformasi status lembaga penyiaran publik menjadi media negara dapat mengancam prinsip kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Jika media berada di bawah kendali langsung pemerintah, risiko hilangnya fungsi kontrol sosial dan cenderung menjadi alat propaganda menjadi nyata.
Dari sudut pandang jurnalistik, transformasi ini menawarkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, penggabungan lembaga penyiaran publik dapat menciptakan sinergi yang lebih baik dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Namun, di sisi lain, ada ancaman signifikan terhadap prinsip kebebasan pers dan independensi media. Dalam sistem demokrasi, media memiliki peran vital sebagai pengawas dan penyedia informasi yang transparan.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk menyeimbangkan kebutuhan efisiensi dengan perlindungan terhadap hak asasi warga negara dalam memperoleh informasi yang bebas dan objektif. Penggabungan lembaga penyiaran publik harus dilakukan dengan hati-hati, memastikan bahwa tujuan utama tetap terletak pada pelayanan kepada masyarakat, bukan sekadar alat propaganda pemerintah.