Setelah mencapai titik terendah sejak tahun 2021, harga minyak dunia kini menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Kenaikan ini didorong oleh langkah strategis OPEC+ yang memutuskan untuk menyesuaikan produksi secara bertahap guna mengimbangi tekanan harga rendah. Meski demikian, sentimen pasar masih dipengaruhi oleh kekhawatiran terkait pasokan berlebih dan pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Berbagai faktor seperti lonjakan produksi dari negara-negara non-OPEC, permintaan musiman yang lemah, serta tekanan deflasi di China turut memperumit prospek jangka menengah. Akan tetapi, jika langkah pengurangan output oleh OPEC+ berhasil meningkatkan stabilitas pasar dan permintaan global mulai pulih, maka harga minyak Brent berpotensi kembali stabil di rentang US$65-70 per barel.
Kebijakan baru dari OPEC+ menjadi salah satu pendorong utama rebound harga minyak dunia. Dengan memutuskan untuk menyesuaikan tingkat produksi secara bertahap, kelompok produsen ini berusaha mengembalikan keseimbangan pasar yang sempat terganggu akibat penurunan harga drastis.
OPEC+ telah merespons dengan cepat terhadap pelemahan harga minyak yang terjadi selama dua minggu terakhir. Langkah kolektif ini dirancang untuk mencegah kerugian lebih lanjut bagi negara-negara anggota yang sulit menutupi biaya produksi dengan harga saat ini. Walaupun ada desakan dari beberapa anggota untuk mempertahankan kuota produksi yang longgar, kesepakatan bersama akhirnya mencerminkan komitmen untuk menjaga stabilitas pasar. Dalam sesi perdagangan Selasa (6/5/2025), harga minyak Brent kontrak Juli naik menjadi US$61,12 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) kontrak Juni juga menguat hingga US$57,99 per barel.
Meskipun harga minyak mulai menunjukkan tren positif, ketidakpastian di pasar tetap menjadi perhatian utama. Lonjakan pasokan dari negara-negara non-OPEC seperti Amerika Serikat dan Brasil serta lesunya pertumbuhan ekonomi global membuat prospek harga minyak dalam jangka menengah tetap fluktuatif.
Tekanan tambahan datang dari kondisi permintaan musiman yang belum menunjukkan peningkatan signifikan. Terutama di China, di mana deflasi domestik dan permintaan industri yang melemah terus menjadi kendala. Selain itu, pelaku pasar juga tengah mengamati laporan mingguan stok minyak AS dari EIA serta data inflasi global yang dapat mempengaruhi ekspektasi suku bunga dan nilai tukar dolar—dua faktor penting dalam dinamika harga komoditas. Jika langkah pengurangan produksi OPEC+ benar-benar dilaksanakan dan permintaan global mulai meningkat pada paruh kedua tahun ini, harga minyak Brent memiliki potensi untuk stabil di kisaran US$65-70 per barel. Namun, jika tekanan pasokan dan perlambatan ekonomi global berlanjut, harga bisa kembali menguji level US$58-60 seperti yang dialami awal pekan ini.