Perusahaan tekstil yang telah berdiri lebih dari setengah abad, PT Sri Rejeki Isman Tbk., atau dikenal sebagai Sritex, kini terpaksa menghadapi nasib pailit. Meskipun pernah menjadi pemimpin di industri tekstil Indonesia, Sritex kini harus menyerahkan kendali kepada kurator setelah mendapat putusan pengadilan.
Pendiri Sritex, Haji Muhammad Lukminto, memulai karirnya sebagai pedagang tekstil di Solo pada usia muda. Bisnisnya berkembang pesat, dan pada tahun 1966, dia membuka kios pertamanya di Pasar Klewer. Dua tahun kemudian, pabrik cetak kain pertama didirikan, yang kemudian menjadi fondasi bagi PT Sri Rejeki Isman. Kedekatan Lukminto dengan tokoh-tokoh penting era Orde Baru juga berperan dalam pertumbuhan bisnis ini, memberikan peluang besar bagi Sritex untuk mendominasi pasar tekstil di dalam dan luar negeri.
Masalah keuangan yang melanda Sritex telah lama berlangsung. Utang yang mencapai US$1,6 miliar dan ekuitas negatif sebesar -US$980,56 juta membuat perusahaan tidak dapat lagi memenuhi kewajiban finansialnya. Akibatnya, perdagangan saham SRIL dihentikan sejak Mei 2022, dan BEI telah mengumumkan potensi delisting pada Mei 2023. Pengadilan Niaga Semarang akhirnya memutuskan Sritex pailit, dan para karyawan terakhir kali bekerja pada 26 Februari 2025. Ribuan pekerja terkena dampak PHK, termasuk 8.504 orang dari PT Sritex Sukoharjo.
Berita ini mengingatkan kita akan pentingnya stabilitas finansial dan adaptasi terhadap perubahan pasar. Meskipun Sritex pernah meraih sukses besar, ketidakmampuan untuk mengelola utang dan menyesuaikan diri dengan tantangan ekonomi global menyebabkan penurunan yang drastis. Namun, kisah ini juga mengajarkan bahwa setiap perusahaan, tidak peduli seberapa besar atau berpengaruh, harus selalu waspada dan proaktif dalam menghadapi tantangan masa depan.