Berbagai langkah telah diambil mantan karyawan perusahaan manufaktur kertas dalam upaya menuntut hak-hak mereka yang terabaikan selama lebih dari satu dekade. Sebuah pertemuan antara Aliansi Karyawan Bersatu PT Kertas Leces dan Komisi VI DPR RI menjadi ajang untuk menyuarakan ketidakadilan tersebut. Mantan pekerja mengungkapkan bahwa sejak tahun 2010, operasional perusahaan berangsur-angsur melambat hingga akhirnya berhenti sepenuhnya karena kesulitan finansial. Tepat pada Mei 2012, pembayaran gaji kepada karyawan resmi dihentikan oleh manajemen.
Permasalahan ini semakin rumit dengan keputusan pengadilan pada tahun 2015 yang menyatakan perusahaan pailit melalui prosedur PKPU. Hal ini mengakibatkan pemutusan hubungan kerja secara massal dan munculnya utang pesangon yang belum terselesaikan hingga kini. Salah satu kendala utama adalah status sertifikat tanah milik perusahaan yang masih tertahan di Kementerian Keuangan. Menurut penjelasan para karyawan, tanah seluas 76 hektar tersebut dapat dijadikan solusi jika dilelang dan hasilnya didistribusikan kepada kreditur serta para eks karyawan sesuai prioritas yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Harapan baru muncul saat para eks karyawan meminta dukungan langsung dari DPR RI untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka mendesak agar Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN bekerja sama guna mempercepat serah-terima sertifikat tanah kepada kurator. Selain itu, mereka juga menekankan perlunya transparansi dalam proses lelang aset untuk memastikan dana yang dihasilkan digunakan secara adil bagi para karyawan. Dengan tagihan total mencapai Rp145,9 miliar, momentum ini diharapkan bisa menjadi titik balik dalam pemulihan hak-hak mereka yang lama tertunda.
Situasi sulit yang dihadapi para eks karyawan PT Kertas Leces menggambarkan pentingnya kolaborasi lintas institusi dalam menyelesaikan konflik sosial dan ekonomi. Melalui tindakan konkret seperti percepatan proses lelang aset dan redistribusi dana, harapan besar ada pada upaya menjaga martabat para pekerja yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi kemajuan perusahaan. Ini menunjukkan bahwa keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab hukum, tetapi juga moralitas kolektif yang harus dijaga demi masyarakat yang lebih inklusif dan sejahtera.