Pada dasarnya, perubahan iklim telah membawa dampak serius bagi petani di India. Banyak dari mereka menghadapi kesulitan panen akibat cuaca ekstrem, seperti kekeringan dan pola hujan yang tidak menentu. Hal ini memicu kenaikan kasus bunuh diri di kalangan petani, terutama di negara bagian Maharashtra. Situasi ini diperburuk oleh utang besar yang harus ditanggung para petani karena gagal panen berulang kali.
Di wilayah Marathwada, sebuah daerah dengan populasi sekitar 18 juta jiwa, para petani menghadapi tantangan luar biasa. Cuaca ekstrem yang merusak lebih dari 3,2 juta hektare lahan pertanian membuat pendapatan mereka semakin tidak stabil. Salah satu contoh nyata adalah kisah Mirabai Khindkar, seorang wanita muda yang harus kehilangan suaminya, Amol, setelah ia nekat mengakhiri hidupnya akibat gagal panen dan beban utang yang tak tertanggulangi.
Amol meninggalkan keluarganya yang terdiri atas istri dan tiga anak dalam kondisi sulit. Kini, Mirabai harus bekerja keras sebagai buruh tani untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun tetap kesulitan melunasi utang yang mencapai lebih dari US$8.000. Ironisnya, penghasilan rata-rata petani di India hanya sekitar US$120 per bulan, sehingga utang tersebut menjadi beban yang hampir mustahil untuk dilunasi.
Profesor R. Ramakumar dari Tata Institute of Social Sciences menjelaskan bahwa perubahan iklim memperparah krisis yang sudah ada dalam sektor pertanian India. Tanpa perlindungan yang memadai seperti asuransi atau investasi dalam penelitian pertanian, para petani kecil semakin rentan terhadap risiko gagal panen. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan terpaksa meledakkan sumur menggunakan dinamit demi mendapatkan air di tengah kekeringan parah.
Data resmi menunjukkan bahwa rata-rata tiga petani di Marathwada bunuh diri setiap hari selama periode 2022-2024. Angka ini mencerminkan betapa gentingnya situasi yang dihadapi oleh komunitas petani di India.
Dari perspektif generasi muda, Shaikh Imran, seorang petani muda di Marathwada, menghadapi tekanan serupa setelah mewarisi lahan keluarga usai kakaknya bunuh diri. Ia kini terjerat utang lebih dari US$1.100 setelah tanamannya gagal panen.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, namun masih belum cukup untuk sepenuhnya mengatasi masalah ini. Banyak yang berharap adanya solusi inovatif yang dapat melindungi para petani dari ancaman kehidupan yang semakin sulit akibat perubahan iklim.
Saat musim kemarau yang tampaknya semakin panjang, harapan akan hasil panen yang baik mulai pudar. Ini menunjukkan urgensi untuk menemukan cara baru agar petani dapat bertahan hidup tanpa bergantung pada elemen-elemen alam yang semakin tidak bisa diprediksi.
Perjuangan para petani ini bukan hanya tentang keberlanjutan hidup mereka sendiri, tetapi juga tentang masa depan ribuan keluarga yang bergantung pada mereka.
Melihat fenomena ini, kita dihadapkan pada realitas pahit bahwa perubahan iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi juga soal keadilan sosial dan hak hidup. Kisah-kisah tragis seperti yang dialami oleh keluarga Khindkar menyoroti pentingnya perlindungan sosial bagi para petani di negara-negara berkembang seperti India.
Sebagai pembaca, kita diajak untuk menyadari bahwa langkah konkret diperlukan untuk mengatasi krisis ini. Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus lebih proaktif dalam memberikan dukungan kepada para petani, misalnya melalui skema asuransi yang inklusif, akses mudah ke kredit perbankan, serta teknologi irigasi modern yang ramah lingkungan.
Tanpa intervensi yang tepat, kisah pilu seperti yang terjadi di Marathwada akan terus berulang, mengancam keberlangsungan hidup jutaan petani di India dan di tempat lain di dunia.