Sebuah karya terbaru dari sutradara Teddy Soeriaatmadja, Mungkin Kita Perlu Waktu, menawarkan narasi mendalam tentang dinamika keluarga yang terpecah akibat tragedi. Film ini mengisahkan tentang sebuah keluarga yang berjuang melawan rasa duka dan perpecahan setelah kehilangan seorang anggota keluarga. Melalui karakter-karakternya yang kompleks, film ini menjelajahi emosi seperti depresi, marah, dan harapan baru.
Dengan bantuan psikolog muda bernama Nana, salah satu anak remaja mencoba memahami rasa takut dan pahitnya hidup pasca-kehilangan. Sementara itu, orang tua berusaha menjaga keutuhan rumah tangga di tengah konflik internal yang semakin memanas. Kisah ini memberikan gambaran akan pentingnya komunikasi serta dukungan emosional dalam menyembuhkan luka keluarga.
Film ini menggambarkan bagaimana trauma kehilangan dapat mempengaruhi hubungan antaranggota keluarga secara mendalam. Kepergian putri sulung Sara meninggalkan bekas luka yang sulit disembuhkan bagi seluruh keluarga. Karakter Ombak, adik Sara, menghadapi tantangan besar dengan depresi yang menghancurkan, membuatnya merasa terjebak dalam siklus penderitaan tanpa akhir.
Kehadiran sosok psikolog Nana menjadi titik balik bagi Ombak untuk mulai membuka diri dan mengenali rasa takut serta ketidakpastian yang dialaminya. Dalam interaksi mereka, penonton diajak untuk merasakan bagaimana proses pemulihan mental bisa dimulai melalui dialog jujur dan saling pengertian. Narasi ini tidak hanya fokus pada Ombak tetapi juga menyoroti bagaimana setiap anggota keluarga bereaksi unik terhadap kehilangan yang sama.
Tak hanya Ombak yang terkena dampak, tetapi juga kedua orang tuanya yang berada dalam situasi yang sangat berbeda. Ayah Restu berusaha keras menjaga agar keluarganya tetap bersatu meskipun ada tekanan dari luar. Di sisi lain, ibu Kasih mengalami kesulitan dalam menyalurkan amarahnya, yang sering kali membuat suasana rumah semakin tegang. Ketegangan ini menjadi faktor utama yang membuat Ombak merasa tidak nyaman tinggal di rumah sendiri.
Di tengah kesulitan yang dialami oleh keluarga, cerita ini juga menunjukkan bahwa ada cahaya di ujung terowongan. Teman dekat Ombak, Aleiqa, hadir sebagai penyemangat yang tak terduga. Hubungan persahabatan mereka menjadi pelipur lara yang membantu Ombak menemukan makna baru dalam hidupnya.
Sepanjang cerita, film ini menekankan pentingnya dukungan dari orang-orang terdekat dalam mengatasi masa-masa sulit. Baik itu dari teman atau profesional seperti psikolog Nana, setiap intervensi positif memiliki andil besar dalam proses penyembuhan. Melalui pendekatan yang penuh empati, film ini berhasil menggambarkan bagaimana perlahan-lahan harapan dapat tumbuh kembali di hati setiap anggota keluarga.
Selain itu, film ini juga menunjukkan perjalanan Restu dan Kasih dalam belajar mengatasi perbedaan pandangan mereka terhadap cara menghadapi kehilangan. Proses ini tidak mudah, namun melalui komunikasi terbuka dan pengertian, mereka akhirnya menemukan cara untuk saling mendukung. Puncak dari cerita ini adalah momen di mana keluarga ini mulai menyadari bahwa meskipun ada luka yang dalam, mereka tetap dapat bangkit dan melanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik.