Pada hari Kamis, militer Pakistan mengumumkan pencapaian besar setelah berhasil menetralkan serangan udara oleh drone kamikaze buatan Israel. Serangan ini dilakukan oleh pihak India sebagai bagian dari pertempuran terbaru antara kedua negara. Sebanyak 25 drone Harop berhasil ditembak jatuh sebelum mencapai target mereka di selurut wilayah Pakistan. Salah satu drone tersebut berhasil mencapai lokasi militer dekat Lahore, menyebabkan korban luka dan kerusakan signifikan.
Dalam pernyataan resmi, militer Pakistan menjelaskan bahwa serangan ini menggunakan teknologi maju berupa drone Harop, yang dikembangkan oleh Divisi Rudal MBT Industri Dirgantara Israel (IAI). Pesawat nirawak ini dirancang untuk mampu terbang rendah serta melacak dan menyerang target penting dengan presisi tinggi. Kemampuan otonomnya memungkinkan drone tersebut bekerja tanpa intervensi langsung manusia, membuatnya kontroversial dalam diskusi tentang hukum humaniter internasional.
Surat kabar lokal Dawn melaporkan bahwa drone Harop adalah senjata canggih yang dapat dioperasikan secara manual atau otonom. Teknologi ini memungkinkan pesawat terbang rendah di atas medan perang dan melakukan serangan berdasarkan instruksi operator. Namun, penggunaannya telah memicu pertanyaan etis dan legalitas, terutama karena kemampuan drone untuk menentukan target sendiri tanpa campur tangan langsung dari pengendali.
India, dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi pelanggan utama produk militer Israel. Menurut laporan, negara tersebut telah mengimpor perangkat keras militer senilai USD2,9 miliar, termasuk drone pengintai, drone tempur, dan rudal. Investasi ini menunjukkan komitmen India terhadap modernisasi alutsista mereka, meskipun hal ini juga memperkuat ketegangan regional.
Kesuksesan Pakistan dalam menembak jatuh sebagian besar drone Harop menunjukkan efektivitas sistem pertahanan udara mereka. Meski demikian, insiden ini menyoroti ancaman baru dalam perang modern, di mana teknologi otonom seperti drone kamikaze bisa menjadi sumber konflik yang lebih rumit. Ancaman ini juga menuntut adanya evaluasi ulang terhadap regulasi internasional terkait penggunaan senjata otonom yang mematikan.