Keputusan Kerajaan Arab Saudi untuk tidak menerbitkan visa haji furoda pada tahun 2025 telah menimbulkan berbagai reaksi di Indonesia. Langkah ini menyebabkan ribuan calon jemaah tidak dapat melaksanakan ibadah, sementara sektor bisnis perjalanan mengalami kerugian signifikan. Ketua Komnas Haji menekankan perlunya regulasi yang lebih tegas terkait layanan haji furoda guna melindungi konsumen dari risiko finansial maupun non-finansial. Selain itu, banyak travel swasta yang telah melakukan persiapan matang seperti pemesanan tiket pesawat dan hotel ternyata harus menanggung kerugian besar akibat kebijakan mendadak ini.
Haji furoda dikenal sebagai program undangan eksklusif dengan biaya tinggi, memungkinkan jemaah berangkat tanpa antrian panjang. Namun, ketidakpastian dalam sistem tersebut membuat para pelaku usaha dan calon jemaah merasa dirugikan secara substansial. Untuk menjaga kepercayaan publik, beberapa travel telah menawarkan pengembalian uang atau opsi berangkat di tahun berikutnya.
Dalam konteks penghentian visa haji furoda, kebutuhan akan aturan yang lebih kuat menjadi prioritas utama. Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, menyoroti pentingnya revisi UU PIHU agar aspek transparansi dan perlindungan konsumen lebih diperhatikan. Hal ini bertujuan untuk menghindari kasus serupa di masa depan.
Selama ini, iklan dan promosi layanan haji furoda cenderung berlebihan, memberikan kesan bahwa proses keberangkatan instan tanpa kendala. Namun, faktor risiko gagal berangkat sering kali tidak disampaikan dengan jelas kepada calon jemaah. Oleh karena itu, peninjauan ulang mekanisme penyediaan layanan ini sangat diperlukan. Regulasi yang baik dapat membantu menciptakan lingkungan bisnis yang adil serta melindungi hak-hak konsumen secara holistik. Ini juga mencakup pengaturan soal pengembalian dana jika keberangkatan batal, sehingga reputasi industri tetap terjaga.
Banyak travel swasta yang telah menyiapkan segala sesuatunya untuk musim haji 2025 menghadapi situasi sulit akibat keputusan Arab Saudi. Beberapa di antaranya bahkan telah melakukan upgrade fasilitas hotel serta memesan layanan tambahan seperti transportasi ke lokasi ritual haji. Namun, semua upaya ini kini terancam sia-sia karena pembatalan visa secara tiba-tiba.
Kondisi ini menunjukkan betapa rentannya sektor travel swasta terhadap kebijakan internasional yang tidak selalu diprediksi. Abdullah Mufid Mubarok dari AMPHURI menyebut bahwa beberapa agen perjalanan sudah melakukan investasi besar, termasuk pembayaran untuk layanan Masa’ir, tiket pesawat, dan akomodasi lainnya. Tidak hanya itu, ada juga agen yang membawa sebagian jemaah ke Jakarta dalam harapan visa turun di detik-detik terakhir. Namun, semua rencana tersebut harus dibatalkan, meninggalkan rasa frustrasi dan kerugian materiil yang signifikan. Situasi ini menegaskan perlunya koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dan pelaku industri untuk mengantisipasi potensi risiko serupa di masa mendatang.