Gaya Hidup
Peningkatan Pengguna Rokok Elektronik di Indonesia dan Ancaman Kesehatan
2025-06-12

Berdasarkan data survei global, pengguna rokok elektronik atau vape di kalangan masyarakat berusia 15 tahun ke atas di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2011, hanya sekitar 480 ribu orang atau 0,3% dari populasi yang menggunakan vape, sementara pada tahun 2021 jumlah tersebut melonjak menjadi 6,6 juta orang atau 3%. Fenomena ini khususnya menargetkan kelompok remaja dan dewasa muda yang sering terpapar informasi tidak akurat tentang keamanan vape melalui media sosial.

Menurut dr. Agus Dwi Susanto, penasehat Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Direktur RSUP Persahabatan, dampak negatif dari rokok elektronik tidak hanya terbatas pada aspek fisik tetapi juga mempengaruhi kesehatan mental, terutama pada generasi muda. Penelitian menunjukkan bahwa zat berbahaya seperti nikotin, logam berat, serta senyawa karsinogenik yang ditemukan dalam vape dapat menyebabkan kerusakan paru-paru, jantung, dan otak. Selain itu, kondisi penyakit paru seperti EVALI (E-cigarette or Vaping Product Use-Associated Lung Injury) hanya ditemukan pada pengguna vape.

Sebuah studi di Jakarta antara tahun 2023 hingga 2024 terhadap kelompok usia 20-30 tahun menemukan bukti nyata bahwa pengguna vape memiliki risiko penurunan fungsi paru secara signifikan dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok. Efek buruk lainnya termasuk edema alveolus, bronkitis, PPOK, bahkan kanker paru. Selain ancaman fisik, paparan nikotin pada otak remaja yang masih berkembang juga dapat menyebabkan gangguan emosional seperti kecemasan, depresi, hingga potensi bunuh diri.

Dr. Agus menjelaskan bahwa meskipun banyak orang percaya bahwa vape lebih aman daripada rokok konvensional, fakta ilmiah membuktikan bahwa kedua produk tersebut sama-sama berbahaya bagi kesehatan. Studi oleh Putra et al (2019) menunjukkan bahwa baik vape maupun rokok tradisional dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru-paru, termasuk infiltrasi sel peradangan dan kerusakan septum alveoli.

Situasi semakin memprihatinkan ketika kasus EVALI mulai dilaporkan di beberapa daerah di Indonesia, seperti Sumatera Utara dan Yogyakarta. Banyak pasien dengan kondisi ini mengalami kerusakan paru-paru yang parah sehingga memerlukan perawatan intensif di unit perawatan intensif (ICU).

Meskipun mayoritas perokok memiliki niat untuk berhenti, kenyataannya hanya sedikit yang berhasil tanpa dukungan profesional. Untuk mengatasi tantangan ini, pendekatan komprehensif telah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dan PDPI melalui kombinasi farmakoterapi dan non-farmakoterapi. Metode non-farmakoterapi mencakup konseling individu atau kelompok, hipnoterapi, dan akupuntur, sementara farmakoterapi melibatkan Nicotine Replacement Therapy (NRT), bupropion, dan varenicline.

Keberhasilan berhenti merokok meningkat lima kali lipat jika metode NRT dikombinasikan dengan konseling. Pendekatan tambahan seperti strategi psikososial 4T dan 5R juga digunakan untuk membantu perokok melewati rintangan dan memperkuat motivasi mereka.

Upaya pemberantasan budaya merokok, baik itu konvensional maupun elektronik, sangat penting demi melindungi generasi masa depan dari ancaman kesehatan serius. Dengan dukungan medis dan psikologis yang tepat, harapan untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia semakin besar.

more stories
See more