Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, semakin banyak perempuan yang mengambil alih peran sebagai pencari nafkah utama keluarga. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, sekitar 14,37 persen perempuan pekerja termasuk dalam kategori female breadwinners. Mereka tidak hanya berkontribusi signifikan terhadap pendapatan rumah tangga, tetapi juga menunjukkan fleksibilitas dalam memilih pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan domestik mereka.
Sebaran geografis dan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para pencari nafkah perempuan ini sangat bervariasi. Provinsi DKI Jakarta mencatat jumlah tertinggi, sementara Papua Pegunungan memiliki angka paling rendah. Mayoritas perempuan ini bekerja secara mandiri atau sebagai buruh dengan status karyawan, terutama di sektor perdagangan, pertanian, dan industri pengolahan. Namun, kendala seperti akses pendidikan, pelatihan keterampilan, serta perlindungan ketenagakerjaan masih menjadi tantangan besar bagi mereka.
Berkembangnya fenomena perempuan sebagai tulang punggung keluarga menunjukkan transformasi sosial yang signifikan di Indonesia. Berdasarkan data BPS, kontribusi ekonomi perempuan terhadap rumah tangga mencapai hingga 90-100 persen pada beberapa kasus. Fenomena ini dipengaruhi oleh norma budaya yang mulai bergeser, di mana perempuan tidak lagi dibatasi pada ranah domestik saja.
Munculnya perempuan sebagai pencari nafkah utama bukanlah tanpa alasan. Di satu sisi, mereka mencari fleksibilitas waktu untuk menjalankan tugas domestik sekaligus bekerja. Status "berusaha" memberikan ruang bagi perempuan untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan tanggung jawab keluarga. Selain itu, sektor formal yang sering kali membutuhkan syarat pendidikan tinggi membuat banyak perempuan lebih memilih pekerjaan mandiri atau usaha mikro. Meskipun demikian, kondisi ini juga membawa tantangan, seperti kurangnya jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja.
Penelitian BPS menunjukkan variasi signifikan dalam distribusi perempuan pencari nafkah di berbagai provinsi Indonesia. DKI Jakarta menjadi daerah dengan proporsi tertinggi, sementara Papua Pegunungan mencatat angka terendah. Hal ini dapat dikaitkan dengan faktor budaya, infrastruktur, serta kesempatan kerja yang tersedia di setiap wilayah. Sektor perdagangan, pertanian, dan industri pengolahan menjadi magnet utama bagi para pencari nafkah perempuan.
Pilihan lokasi kerja yang dekat dengan rumah juga menjadi tren umum di kalangan perempuan. Sekitar 60,79 persen dari mereka bekerja di usaha perorangan, baik di rumah sendiri maupun tempat lain yang menawarkan fleksibilitas waktu. Kondisi ini didorong oleh kebutuhan untuk menjalankan tugas domestik seperti merawat anak atau keluarga lainnya. Namun, pekerjaan semacam ini sering kali tidak memberikan jaminan sosial dan perlindungan ketenagakerjaan yang memadai. Studi menunjukkan bahwa meskipun perempuan lebih mudah masuk ke sektor formal sebagai buruh/karyawan, keterbatasan modal, pendidikan, dan pelatihan keterampilan membuat mereka cenderung terjebak dalam pekerjaan dengan pendapatan rendah dan ketidakpastian ekonomi. Dengan demikian, fenomena ini menyoroti pentingnya peningkatan akses edukasi dan pelatihan bagi perempuan agar dapat meningkatkan kapasitas karir mereka di masa depan.