Parlemen Indonesia mempertanyakan kinerja perusahaan farmasi milik negara yang mengalami kerugian signifikan. PT Kimia Farma Tbk., salah satu entitas besar di sektor ini, mencatat kerugian hingga Rp 421,8 miliar pada kuartal III-2024. Meskipun memiliki jaringan luas dengan lebih dari seribu apotek, perusahaan gagal mencapai keuntungan yang sesuai. Salah satu faktor penyebabnya adalah beban operasional yang tinggi serta harga obat yang kurang kompetitif.
DPR menyoroti bahwa meskipun memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat, seperti di wilayah Garut dan Tasikmalaya, Kimia Farma belum bisa memberikan pelayanan maksimal dengan harga terjangkau. Beban utama perusahaan berasal dari gaji karyawan, promosi, serta pemeliharaan fasilitas. Situasi ini memicu pertanyaan tentang strategi pengelolaan perusahaan agar dapat bersaing secara efektif di pasar farmasi nasional.
Meskipun telah mendirikan lebih dari seribu apotek di seluruh Indonesia, Kimia Farma masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai profitabilitas. Komisi VI DPR RI menyatakan keheranan mereka atas kondisi ini, mengingat bisnis farmasi dikenal sebagai salah satu industri dengan margin keuntungan tertinggi. Menurut anggota Komisi VI, Imas Aan Ubudiah, perusahaan seharusnya mampu memanfaatkan jumlah apoteknya untuk meningkatkan pendapatan melalui penjualan obat yang lebih murah dan layanan berkualitas.
Imas menekankan pentingnya inovasi dalam menjalankan usaha. Ia berpendapat bahwa Kimia Farma harus lebih agresif dalam menjalin kolaborasi dengan pihak lain guna menurunkan biaya operasional dan meningkatkan daya saing produknya. Selain itu, ia juga menyoroti perlunya perbaikan dalam manajemen harga obat agar lebih terjangkau bagi konsumen. Kondisi ini menjadi sorotan khusus karena warga di daerah-daerah seperti Garut dan Tasikmalaya merasa nyaman dengan pelayanan Kimia Farma namun tetap merasa harga obatnya mahal.
Lebih lanjut, Imas menjelaskan bahwa keberadaan ribuan apotek dan klinik yang dimiliki Kimia Farma merupakan peluang besar untuk melakukan ekspansi dan inovasi. Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa perusahaan belum sepenuhnya memanfaatkan potensi tersebut. Misalnya, beban gaji karyawan yang cukup tinggi dan biaya promosi yang besar ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan signifikan dalam pendapatan perusahaan. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara investasi dan hasil yang diperoleh.
Kimia Farma mencatat kerugian yang mencapai Rp 421,8 miliar pada periode Januari hingga September 2024. Angka ini meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 177,3 miliar. Salah satu faktor utama penyebab kerugian ini adalah beban usaha yang sangat besar, termasuk biaya operasional dan promosi. Meskipun laba kotor perusahaan mencapai Rp 2,35 triliun, jumlah tersebut tidak cukup untuk menutupi total beban usaha senilai Rp 2,65 triliun.
Beban utama yang dialami perusahaan adalah biaya penjualan, yang mencapai Rp 1,58 triliun. Biaya ini meliputi gaji karyawan sebesar Rp 864,93 miliar, biaya promosi senilai Rp 307,83 miliar, serta pemeliharaan bangunan sewa dan kerja sama operasi sebesar Rp 197,72 miliar. Selain itu, beban umum dan administrasi juga turut membengkak menjadi Rp 1,07 triliun, dengan komponen terbesarnya adalah gaji karyawan sebesar Rp 476,86 miliar dan penyusutan aset sebesar Rp 160,57 miliar.
Situasi ini menunjukkan bahwa Kimia Farma masih kesulitan dalam mengelola sumber daya dengan efisien. Pengeluaran besar untuk promosi dan pemeliharaan fasilitas tampaknya belum memberikan dampak positif yang signifikan terhadap peningkatan pendapatan. Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap strategi pemasaran dan operasionalnya. Langkah-langkah seperti penyesuaian harga obat, pengurangan biaya operasional, serta peningkatan layanan pelanggan menjadi prioritas utama agar perusahaan dapat kembali ke jalur profitabilitas.