Dulu, sepak bola China menjadi pusat perhatian dunia dengan liga profesionalnya yang menarik para pemain top dunia. Namun, kejayaan tersebut berumur pendek akibat pandemi dan perlambatan ekonomi. Klub-klub besar mulai gulung tikar karena investasi negara ditarik kembali, sementara korupsi semakin memperburuk situasi.
Banyak klub ternama jatuh bangkrut, termasuk Jiangsu FC yang pernah merajai liga sebelum ditutup oleh Suning Group. Sementara itu, Guangzhou Evergrande harus menghadapi nasib pahit setelah induk usahanya terjerat hutang besar. Selain itu, skandal korupsi seperti pengaturan pertandingan melibatkan tokoh-tokoh penting dalam industri ini, termasuk mantan pelatih tim nasional Li Tie.
Di awal 2010-an, Liga Super China mencoba membangun citra global dengan menarik pemain bintang dari Eropa. Meskipun awalnya sukses, keberlanjutan model bisnis ini dipertanyakan saat ekonomi China melambat. Perusahaan-perusahaan milik negara yang dulunya mendukung klub-klub ini mulai menarik diri, menyebabkan banyak klub kolaps.
Salah satu contoh nyata adalah Suning Group, yang membeli Jiangsu FC pada tahun 2015 dan membawanya meraih gelar juara liga pada 2020. Namun, hanya beberapa bulan kemudian, klub ini ditutup karena Suning ingin fokus pada bisnis ritel mereka. Hal serupa juga terjadi pada Guangzhou Evergrande, yang meskipun berhasil meraih banyak trofi di bawah manajemen Italia seperti Marcello Lippi dan Fabio Cannavaro, akhirnya terjerat krisis finansial dari induk usahanya. Evergrande Group, raksasa properti yang sedang kesulitan, membuat klub ini turun kasta pada Januari lalu.
Selain masalah finansial, sepak bola China juga dilanda serangkaian skandal korupsi. Investigasi dua tahun terakhir mengungkap praktik ilegal seperti perjudian, pengaturan pertandingan, dan penyuapan. Ini memperparah kondisi buruk yang sudah dialami oleh industri ini.
Mantan pelatih tim nasional China, Li Tie, menjadi salah satu figur terkenal yang terjerat kasus korupsi. Ia dihukum penjara selama 20 tahun atas tuduhan terlibat dalam praktik-praktik tidak etis tersebut. Skandal ini tidak hanya melibatkan satu individu, tetapi puluhan pemain, pelatih, dan administrator lainnya. Pengaruh buruk dari korupsi ini telah merusak integritas kompetisi domestik dan memperlihatkan betapa rapuhnya struktur tata kelola sepak bola China. Akibatnya, harapan untuk membangun liga profesional yang kompetitif dan bereputasi tinggi semakin sulit dicapai.