Gaya Hidup
Penurunan Produksi Rokok Memicu Perubahan Pola Penerimaan Cukai di Indonesia
2025-05-09

Pada kuartal pertama tahun 2025, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatatkan capaian penerimaan sebesar Rp 301,6 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Namun, tren penurunan produksi rokok terutama dari golongan dengan tarif cukai tinggi menjadi perhatian utama. Penyebabnya adalah kombinasi dari kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) serta munculnya rokok ilegal murah yang semakin meresahkan industri. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, menjelaskan bahwa produksi rokok turun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan dampak langsung dari kebijakan fiskal yang diterapkan.

Kajian Mendalam: Dampak Kebijakan Tarif Cukai terhadap Industri Tembakau Nasional

Dalam masa transisi ekonomi yang dinamis, perkembangan industri tembakau nasional menghadapi tantangan baru. Berdasarkan data resmi yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pencapaian penerimaan kepabeanan dan cukai pada awal tahun 2025 mencapai angka Rp 301,6 triliun. Komponen utama penyumbang pendapatan tersebut meliputi cukai hasil tembakau, bea masuk, serta bea keluar. Secara rinci, kontribusi cukai hasil tembakau tetap mendominasi meskipun mengalami pelemahan signifikan.

Di tengah langkah-langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui kenaikan tarif cukai, fenomena penurunan produksi rokok mulai terlihat jelas. Pada periode Januari hingga Maret 2025, produksi rokok golongan satu—yang memiliki tarif cukai tertinggi—mengalami penurunan drastis hingga 10,9%. Data historis menunjukkan bahwa produksi rokok secara keseluruhan telah berkurang dari 323,9 miliar batang pada tahun 2022 menjadi 317,4 miliar batang pada tahun 2024.

Menanggapi situasi ini, Askolani menyoroti pentingnya evaluasi kebijakan tarif cukai. Ia menyatakan bahwa elastisitas pasar rokok terhadap kenaikan tarif cukai lebih besar daripada asumsi sebelumnya. Selain itu, maraknya rokok ilegal dengan harga murah di pasar domestik juga memperburuk kondisi. Upaya penindakan telah dilakukan dengan intensif, termasuk penindakan lebih dari 2.900 kasus rokok ilegal yang bernilai total Rp 367 miliar.

Dari perspektif seorang jurnalis atau pembaca, laporan ini memberikan gambaran tentang kompleksitas hubungan antara kebijakan fiskal dan dampaknya terhadap industri lokal. Fenomena penurunan produksi rokok bukan hanya soal angka-angka ekonomi, tetapi juga cerminan perubahan perilaku konsumen dan strategi industri. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan publik harus mempertimbangkan efek jangka panjang terhadap berbagai sektor, termasuk perlunya kolaborasi lintas pihak untuk menekan distribusi produk ilegal.

More Stories
see more