Pada akhir abad ke-15, sejarah Pulau Jawa mencatat penaklukan Kerajaan Majapahit oleh Kesultanan Demak. Berbeda dari banyak penaklukan lainnya, Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, berhasil menguasai wilayah kerajaan Hindu ini tanpa menyebabkan kerusakan atau pembakaran terhadap ibu kotanya. Dengan strategi yang cermat, Demak mampu menjadikan Majapahit sebagai negara bawahan, membuka jalan bagi pengaruh Islam di wilayah tersebut.
Di masa-masa transisi politik pada tahun 1478, pasukan Kesultanan Demak memperluas kekuasaannya menuju wilayah-wilayah yang dikuasai Majapahit. Meskipun demikian, dalam proses penaklukan ini, pusat pemerintahan Majapahit tetap utuh tanpa adanya tindakan merusak oleh pasukan pimpinan Raden Patah. Ini menunjukkan pendekatan diplomatis dan strategis yang digunakan oleh pemimpin baru ini.
Raden Patah, juga dikenal dengan nama Jin Bun, berhasil menangkap Raja Majapahit, Bhre Kertabhumi, dan membawanya kembali ke ibu kota Demak. Namun, bukan berarti Majapahit lenyap begitu saja. Sebagai gantinya, Majapahit dijadikan negara bawahan oleh Demak, seperti yang diungkapkan oleh sejarawan Prof Slamet Muljana dalam tulisannya tentang runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan munculnya negara-negara Islam di Nusantara.
Selain itu, putra mahkota Majapahit, Dyah Ranawijaya Girindrawardhana, diangkat menjadi bupati di bawah kendali Demak. Prasasti-prasasti kuno serta catatan Tionghoa dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang memberikan bukti bahwa Majapahit masih ada, namun harus membayar pajak kepada kesultanan baru ini.
Dari perspektif seorang jurnalis atau pembaca sejarah, penaklukan Majapahit oleh Demak menunjukkan betapa pentingnya diplomasi dan perencanaan matang dalam konflik antarbangsa. Alih-alih menghancurkan lawan, Raden Patah memilih untuk mengintegrasikan Majapahit ke dalam sistem pemerintahan barunya. Hal ini tidak hanya meminimalkan korban jiwa tetapi juga memastikan kelangsungan budaya dan tradisi yang telah lama berkembang di wilayah tersebut.