Permintaan pendanaan yang semakin tinggi di kalangan masyarakat Indonesia telah mendorong peningkatan penggunaan layanan paylater. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total utang melalui layanan ini mencapai Rp 30,36 triliun pada November 2024, mengalami kenaikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa layanan paylater menjadi pilihan populer bagi konsumen.
Layanan paylater banyak digunakan untuk berbagai keperluan sekunder, seperti pembelian produk non-essensial dan transaksi digital lainnya. Direktur Utama IdScore Tan Glant Saputrahadi menyebut bahwa hampir setengah dari penggunaan layanan ini ditujukan untuk transaksi sekunder, termasuk pembelian tiket perjalanan dan barang-barang melalui e-commerce. Fasilitas ini juga menjadi solusi bagi generasi muda yang memiliki beban finansial tambahan, atau yang dikenal sebagai generasi sandwich, serta mereka yang sulit mengakses layanan perbankan.
Meskipun layanan paylater memberikan akses pembiayaan yang lebih mudah, ada potensi risiko gagal bayar yang meningkat seiring dengan pola konsumsi tersebut. Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengungkapkan bahwa meskipun angka kredit macet di BNPL telah turun, masih ada dampak negatif terhadap alokasi pengeluaran konsumen untuk membayar bunga. Dalam situasi ekonomi yang lesu, penting bagi masyarakat untuk bijaksana dalam menggunakan layanan ini agar tidak terjebak dalam utang yang berlebihan.
Dengan kondisi daya beli masyarakat yang menurun, penggunaan layanan paylater memang bisa menjadi alternatif sementara. Namun, langkah-langkah preventif harus ditempuh untuk memastikan bahwa masyarakat dapat mengelola keuangan mereka secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Pendidikan keuangan dan literasi finansial menjadi kunci dalam membantu masyarakat membuat keputusan yang tepat dan berdaya guna.