Pada masa penjajahan Belanda, sekitar 2.800 orang yang terkait dengan keturunan Jerman dan pendukung Nazi menghadapi penahanan di wilayah Hindia Belanda. Kelompok ini meliputi masyarakat Indo-Eropa berdarah Jerman, misionaris Katolik serta Protestan, dan anggota partai Nasional-Sosialis Belanda (NSB). Mereka ditahan di beberapa lokasi khusus seperti Ngawi, Ambarawa, dan Pulau Onrust. Peristiwa ini berkaitan erat dengan kekalahan Kerajaan Belanda dalam Perang Dunia Kedua pada Mei 1940, yang membuat pemerintahan kolonial menghadapi tekanan baru dari Jepang.
Berawal dari serangan Jerman pada tahun 1940, keruntuhan pemerintahan Belanda membuka jalan bagi perubahan geopolitik signifikan di Asia Tenggara. Setelah kekalahan empat hari melawan pasukan Jerman, Belanda menyerah dan Ratu Wilhelmina melarikan diri ke London. Situasi ini meninggalkan Hindia Belanda tanpa perlindungan langsung dari ibu negara. Ancaman utama berasal dari Jepang, yang mulai memperluas pengaruhnya di Asia sejak awal 1930-an.
Situasi politik yang tidak stabil menyebabkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer, harus berhadapan dengan tekanan diplomatik dari Jepang. Konsul Jenderal Jepang di Batavia menyampaikan belasungkawa atas kekalahan Belanda sambil mencoba memanfaatkan situasi untuk mendapatkan kendali atas perdagangan dan sumber daya alam Hindia Belanda. Pernyataan tersebut menjadi indikasi kuat niat Jepang untuk memperluas ekspansi militer mereka di wilayah ini.
Ketegangan antara Jepang dan Cina juga memperburuk kondisi. Pada tahun 1937, perang pecah akibat kebijakan ekspansionis Jepang. Militer Jepang yang menguasai pemerintahan pada masa itu melihat Hindia Belanda sebagai sasaran strategis karena cadangan minyak dan bahan baku lainnya. Tekanan ini semakin meningkat saat Jepang menunjukkan ketertarikan besar terhadap wilayah koloni Belanda.
Dengan kehilangan kontrol atas Amsterdam dan Den Haag, Hindia Belanda dipaksa untuk bertahan sendiri di tengah ancaman global. Lokasi-lokasi penahanan seperti Ngawi, Ambarawa, dan Pulau Onrust menjadi simbol dari ketegangan politik dan militer yang meliputi wilayah ini selama periode transisi menuju pendudukan Jepang.
Tanpa dukungan langsung dari Belanda, Hindia Belanda menjadi incaran strategis bagi kekuatan baru yang ingin merebut kendali regional. Situasi ini mencerminkan bagaimana dampak Perang Dunia Kedua secara luas mempengaruhi nasib wilayah koloni di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.