Dalam perkembangan global yang menarik, negara-negara Asia tengah mempertimbangkan langkah besar untuk melepaskan cadangan dolar Amerika Serikat (AS) senilai USD2,5 triliun atau setara Rp41.300 triliun. Hal ini dipandang sebagai bagian dari tren dedolarisasi global yang semakin kuat, khususnya oleh kelompok BRICS dan negara berkembang lainnya. Stephen Jen, CEO Eurizon SLJ Capital, menyebut fenomena ini sebagai "longsoran salju" yang melibatkan eksportir dan investor institusional Asia. Sejak Februari, dolar AS telah melemah sekitar 8%, sementara mata uang Asia menguat secara signifikan. Alasan utama pergeseran ini adalah ketidakseimbangan perdagangan dan dorongan menggunakan mata uang lokal dalam transaksi internasional.
Di tengah musim perubahan ekonomi global, negara-negara Asia seperti Taiwan, Malaysia, dan Vietnam mulai menunjukkan kecenderungan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Pada Sabtu (10/5), Stephen Jen memberikan pandangan mendalam tentang potensi pelepasan cadangan dolar senilai USD2,5 triliun oleh eksportir dan investor Asia. Menurutnya, situasi ini terjadi akibat pergeseran kekuatan ekonomi global dan ketidakstabilan pasar internasional.
Ketika nilai dolar AS melemah hampir 8% sejak Februari, banyak negara Asia justru mengalami penguatan signifikan pada mata uang lokal mereka. Faktor ini mendorong agenda dedolarisasi yang semakin kuat, khususnya di kalangan negara-negara BRICS dan mitra strategis lainnya di wilayah Asia. Mata uang lokal kini dianggap lebih menarik karena tidak dibebani dengan utang dan dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) dalam kerja sama bilateral.
Berkaca pada kondisi ini, negara-negara seperti Taiwan, Malaysia, dan Vietnam mulai menggunakan mata uang lokal dalam transaksi internasional. Surplus eksternal yang dimiliki juga memperkuat kemampuan mereka untuk melindungi diri dari fluktuasi nilai dolar. Dengan alasan kuat ini, ekonomi Asia tampaknya siap untuk beralih dari dominasi dolar.
Sebagai contoh konkret, Stephen Jen menyoroti bahwa surplus eksternal dan posisi finansial yang kuat menjadi modal penting bagi negara-negara Asia untuk mengambil tindakan. Mereka tidak lagi merasa terikat pada penggunaan dolar AS dalam berbagai transaksi internasional.
Dengan demikian, langkah ini bukan hanya refleksi atas gejolak pasar global tetapi juga strategi jangka panjang untuk memperkuat stabilitas ekonomi nasional.
Langkah dedolarisasi ini diharapkan akan membawa transformasi signifikan dalam sistem moneter global.
Sebagai seorang jurnalis, saya melihat bahwa fenomena dedolarisasi ini mencerminkan pergeseran besar dalam arsitektur ekonomi global. Negara-negara Asia sedang menunjukkan inisiatif kuat untuk mengurangi ketergantungan pada mata uang asing dan memperkuat kedaulatan ekonomi mereka. Ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi dunia bahwa diversifikasi moneter dan penggunaan mata uang lokal memiliki potensi besar untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mengurangi risiko volatilitas pasar global.