Dalam sejarah, krisis ekonomi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Salah satu contoh yang menarik untuk diteliti adalah periode ketika Nabi Muhammad hidup di abad ke-7 Masehi. Selama masa tersebut, masyarakat Arab menghadapi berbagai tantangan ekonomi akibat konflik antarsuku, migrasi besar-besaran, serta manipulasi perdagangan oleh kaum Yahudi. Hal ini menyebabkan keruntuhan jalur perdagangan, kelaparan, dan kemiskinan meluas. Namun, Nabi Muhammad tidak hanya bertahan, tetapi juga berhasil mengembangkan strategi bisnis yang inovatif dan adil.
Pada awalnya, dalam konteks sejarah yang penuh tantangan ini, Nabi Muhammad memilih sektor peternakan sebagai pijakan pertamanya dalam dunia bisnis. Di era tersebut, peternakan merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat menguntungkan karena hewan ternak dapat berkembang biak dan setiap bagiannya memiliki nilai ekonomi. Sejak usia muda, beliau sudah memiliki pengalaman sebagai penggembala kambing, sehingga pengetahuannya tentang dunia peternakan sangat mendalam. Tidak heran jika unta menjadi aset utama yang memberikan stabilitas finansial bagi Nabi Muhammad.
Selain itu, Nabi Muhammad juga terlibat dalam investasi properti dan tanah. Ia menggunakan model bisnis berbasis bagi hasil dengan menyewakan tanah kepada orang-orang Yahudi di daerah Khaybar. Model ini kemudian dikenal sebagai "mudharabah," di mana para pemilik modal dan pengelola bersama-sama menikmati hasil keuntungan secara adil. Konsep ini mencerminkan prinsip keadilan dan transparansi dalam berbisnis, yang menjadi ciri khas metode ekonomi yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Mengutip riset "The Rasulullah Way of Business" (2021), Nabi Muhammad dikenal sebagai al-amin, seseorang yang sangat dipercaya. Kepercayaan ini membuka peluang bagi beliau untuk bekerja sama dengan para pemodal yang yakin akan integritas dan kemampuan manajerialnya. Dengan demikian, uang yang dikumpulkan digunakan secara efektif untuk memperluas jaringan bisnis.
Salah satu aspek penting lainnya dalam strategi bisnis Nabi Muhammad adalah sikap bersedekah. Islam mengajarkan bahwa setiap harta kekayaan memiliki hak bagi orang lain. Oleh karena itu, Nabi Muhammad tidak pernah menimbun kekayaannya sendiri. Sebaliknya, seluruh keuntungan dari bisnisnya dialokasikan untuk kepentingan umat. Baik dalam bentuk uang, pakaian, maupun makanan, beliau senantiasa memberikan uluran tangan kepada sesama.
Dari perspektif seorang jurnalis, cerita ini memberikan banyak pelajaran bagi kita dalam menghadapi krisis ekonomi modern. Pertama, pentingnya memiliki diversifikasi dalam investasi. Seperti halnya Nabi Muhammad, kita perlu memanfaatkan berbagai sektor, baik itu pertanian, properti, atau bisnis lainnya, untuk meminimalkan risiko. Kedua, integritas dan kepercayaan adalah fondasi utama dalam menjalin hubungan bisnis yang sukses. Tanpa kepercayaan, bahkan ide bisnis terbaik pun bisa gagal.
Bagi pembaca, inspirasi terbesar dari kisah ini adalah pentingnya berbagi. Dalam sistem ekonomi yang sering kali materialistis, kita sering melupakan bahwa keberhasilan sejati bukan hanya diukur dari jumlah kekayaan yang dimiliki, tetapi juga dari dampak positif yang kita berikan kepada masyarakat. Melalui sedekah dan amal, kita tidak hanya membantu sesama, tetapi juga membangun hubungan sosial yang lebih kuat dan harmonis.