Pada perdagangan awal pekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan seiring dengan ketegangan pasar keuangan global. IHSG ditutup pada level 6.450,82, dengan penurunan mencapai 0,99%. Kondisi ini dipicu oleh sentimen negatif dari berbagai sektor industri serta antisipasi terhadap kebijakan moneter global yang akan dirilis dalam beberapa hari mendatang. Sebagian besar sektor saham merosot, meskipun ada penguatan di sektor konsumer primer, barang baku, dan energi.
Dalam laporan terbaru dari Jakarta, pergerakan pasar saham Indonesia tampak tertekan oleh kinerja buruk saham DCI Indonesia (DCII), yang menyentuh batas auto rejection bawah (ARB) atau turun hingga 20% ke level 144.750. Sebelumnya, saham ini dikenal sebagai salah satu pendorong utama reli pasar akibat rencana stock split yang diumumkan pada pertengahan Februari.
Berkaitan dengan itu, sektor teknologi menjadi yang paling terdampak, dengan penurunan hingga 6,92%. Selain itu, sektor perbankan juga memberikan tekanan signifikan terhadap IHSG, terutama melalui saham BBCA yang turun 1,71%. Situasi ini menunjukkan bahwa pasar masih cemas atas risiko ekonomi global, termasuk potensi resesi AS yang mulai banyak dibahas dengan istilah "Trumpcession".
Pada sisi lain, pelaku pasar juga mengantisipasi dampak dari serangkaian rapat bank sentral dunia, termasuk Bank Indonesia (BI), The Federal Reserve (The Fed), dan Bank Sentral Jepang (BoJ). Keputusan suku bunga tersebut dapat mempengaruhi arah pasar ke depannya, baik secara domestik maupun internasional.
Di Indonesia, rilis data statistik utang luar negeri (SULNI) dan neraca perdagangan bulanan menjadi sorotan. Data neraca perdagangan diperkirakan akan menunjukkan surplus US$2,08 miliar untuk bulan Februari, meskipun lebih rendah dibandingkan Januari. Sementara itu, BI kemungkinan akan mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75%.
Sebagai seorang jurnalis, dinamika pasar saham Indonesia dan global kali ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya stabilitas kebijakan moneter serta pengelolaan risiko dalam investasi. Fluktuasi harga saham seperti yang terjadi pada DCII menunjukkan bahwa ekspektasi pasar dapat berubah dengan cepat, sehingga investor harus tetap waspada dan tidak hanya bergantung pada tren jangka pendek.
Lebih lanjut, ancaman resesi di AS dan ketidakpastian geopolitik menegaskan bahwa perlunya kolaborasi antara pemerintah dan pelaku pasar untuk menjaga kestabilan ekonomi nasional. Dengan demikian, keputusan BI dan The Fed pekan ini akan menjadi indikator penting bagi langkah selanjutnya dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.