Pendiri Kerajaan Singasari, Ken Arok atau yang dikenal sebagai Raja Rajasa, mengakhiri hidupnya dalam sebuah kejadian tragis. Menurut sumber sejarah seperti Kakawin Pararaton dan Prasasti Mula-Malurung, kematian sang raja terjadi akibat konflik keluarga yang berakar pada perbedaan perlakuan terhadap anak-anaknya. Anusapati, putra sulung dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung, merasa dirinya diabaikan oleh ayah angkatnya, Ken Arok. Setelah mengetahui bahwa Ken Arok sebenarnya telah membunuh ayah kandungnya, Anusapati memutuskan untuk melakukan pembalasan. Akhirnya, Raja Rajasa tewas akibat tusukan keris Gandring di tangan pengirim Anusapati saat sedang bersantap di waktu senja.
Sejarawan Prof Slamet Muljana mencatat bahwa Ken Arok adalah sosok yang berhasil merebut tahta Tumapel setelah membunuh Tunggul Ametung, suami pertama Ken Dedes. Dengan pernikahannya dengan Ken Dedes, Ken Arok tidak hanya mendapatkan kekuasaan tetapi juga delapan anak dari dua istrinya. Namun, hubungan antara Ken Arok dan anak-anaknya tidak selalu harmonis. Perbedaan perlakuan terhadap anak-anaknya menjadi pemicu ketegangan, terutama bagi Anusapati yang merupakan anak tiri.
Selama bertahun-tahun, Ken Dedes berusaha menyembunyikan fakta bahwa suaminya sendiri bertanggung jawab atas kematian Tunggul Ametung. Rahasia ini akhirnya terungkap kepada Anusapati, yang kemudian merasa dirinya dicurangi hak-haknya sebagai putera sulung. Ia mulai mempertanyakan posisi dirinya dalam struktur kekuasaan dan menganggap dirinya lebih layak meneruskan garis keturunan daripada saudara-saudaranya yang lahir dari pernikahan Ken Arok dengan istri lainnya.
Ketika Mahisa Wunga Teleng, salah satu putra Ken Arok dari pernikahannya dengan Ken Umang, diangkat sebagai penerus tahta Kediri, amarah Anusapati semakin memuncak. Ia melihat penobatan tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap statusnya sebagai anak pertama keluarga. Dalam upaya untuk membalas dendam, Anusapati mengirim salah satu pengikutnya dari desa Batil untuk menyelesaikan misi fatal tersebut.
Dengan demikian, kematian Ken Arok menjadi simbol dari konflik internal yang tak terhindarkan di antara generasi penerusnya. Meskipun ia berhasil membangun fondasi kuat bagi Kerajaan Singasari, namun akhirnya justru runtuh karena ketidakadilan yang dirasakan oleh salah satu anak tirinya. Kisah ini mengingatkan kita betapa pentingnya keadilan dan transparansi dalam hubungan keluarga maupun politik.
Berakhirnya kehidupan Ken Arok secara tragis menunjukkan bagaimana ambisi dan intrik dapat meruntuhkan bahkan mereka yang paling kuat. Konflik antara Anusapati dan Ken Arok bukan hanya soal persaingan kekuasaan, tetapi juga tentang identitas dan hak warisan. Narasi ini mengajarkan nilai-nilai moral tentang integritas dan kejujuran, yang sangat dibutuhkan dalam menjaga stabilitas baik di lingkup keluarga maupun negara.