Dalam perjalanan sejarah, Indonesia telah menjadi saksi bagi banyak tokoh dunia yang meninggalkan kesan mendalam. Salah satu contohnya adalah kunjungan legendaris Charlie Chaplin pada tahun 1932. Dalam catatan perjalanannya, Chaplin mengungkapkan kekagumannya terhadap budaya lokal, khususnya pengalaman tidur dengan guling dan kelambu. Kunjungan ini juga memberikan wawasan tentang kehidupan masyarakat kolonial di masa itu, serta bagaimana Chaplin menyadari keunikan karakteristik penduduk Indonesia dibandingkan dengan koloni lain.
Di tengah hamparan sejarah, bulan Maret-April 1932 menjadi momen berharga ketika sosok komedian besar asal Inggris, Charlie Chaplin, tiba di Indonesia. Pada hari Rabu tanggal 30 Maret 1932, Chaplin turun dari kapal di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (sekarang Jakarta). Setelah singgah di Hotel Java untuk bersantai, dia melanjutkan perjalanan menuju Bandung, tempat ia sampai pada malam harinya setelah perjalanan selama enam jam.
Berkat reputasinya sebagai bintang teater internasional, kedatangan Chaplin langsung menarik perhatian publik. Di Kota Kembang, meskipun hanya singkat, dia sempat bertemu dengan para penggemarnya yang antusias. Selanjutnya, Chaplin melanjutkan petualangannya ke Garut, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. Saat berada di Garut, dia menjelajahi destinasi wisata seperti Kawah Papandayan dan beberapa danau indah.
Salah satu hal unik yang diceritakan Chaplin dalam buku catatan perjalanannya, A Comedian Sees the World, adalah kecintaannya pada guling tradisional Indonesia. Benda ini sering disebut sebagai "Dutch wife" karena awalnya digunakan oleh para pria Belanda untuk menemani tidur mereka di tanah jajahan. Chaplin merasa sensasi tidur dengan guling dan kelambu membuatnya seperti bayi baru lahir, sebuah pengalaman yang begitu memikat baginya.
Tidak hanya itu, Chaplin juga terkesan dengan keramahan penduduk lokal yang sangat berbeda dari koloni-koloni lain. Dia mencatat bahwa masyarakat Indonesia memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan koloni Inggris, berkat dukungan pembangunan yang masih mempertahankan nilai-nilai lokal.
Sebagai penutup perjalanannya, Chaplin meninggalkan pesan optimis kepada para penggemarnya bahwa ia akan kembali suatu hari nanti.
Dari perspektif seorang jurnalis, cerita ini menginspirasi kita untuk menghargai sejarah dan warisan budaya yang sering kali luput dari perhatian. Pengalaman Chaplin menunjukkan betapa kuatnya daya tarik Indonesia, bahkan bagi seorang selebriti dunia. Ini juga mengajarkan pentingnya empati dan penghargaan terhadap perbedaan budaya, sesuatu yang sangat relevan di era globalisasi saat ini.