Proses penghormatan terakhir kepada seorang tokoh agama besar telah dilakukan dengan cara yang mencerminkan nilai sederhana dan kepatuhan terhadap tradisi. Setelah meninggal dunia, jenazah pemimpin Gereja Katolik disiapkan menggunakan metode tanatopraksi untuk dipamerkan kepada umat dalam peti mati minimalis. Menurut laporan dari media Eropa, langkah ini mengikuti permintaan pribadi almarhum agar tidak menggunakan peti mati mewah yang biasa digunakan dalam upacara serupa.
Metode pengawetan modern ini memainkan peran penting dalam menjaga penampilan alami tubuh selama beberapa hari. Tanatopraksi, berbeda dengan proses mumifikasi kuno, melibatkan penyuntikan zat kimia pengawet ke dalam pembuluh darah serta membersihkan tubuh secara menyeluruh. Selain itu, wajah dan tangan juga diberi sentuhan akhir agar tampak damai dan tenang. Praktik ini diatur oleh undang-undang Italia dan dianggap sebagai perkembangan dari teknik pembalsaman tradisional yang lebih kasar, yang sering merusak integritas fisik tubuh manusia.
Dalam sejarah panjang Gereja Katolik, penggunaan teknik pengawetan telah menjadi bagian dari protokol resmi untuk memungkinkan umat memberikan penghormatan terakhir. Dulu, formalin dan alkohol digunakan dalam prosedur invasif yang melibatkan pengambilan organ dalam. Namun, kesadaran akan perlunya menghormati tubuh secara lebih bijaksana telah membawa gereja untuk beralih ke metode tanatopraksi. Dengan demikian, jutaan orang dapat mengunjungi Basilika Santo Petrus untuk berpisah dengan sosok yang begitu dicintai hingga hari pemakamannya.
Penggunaan teknik pengawetan modern seperti tanatopraksi menunjukkan betapa ilmu pengetahuan dapat mendukung nilai-nilai spiritual dan budaya. Ini adalah contoh konkret bagaimana kemajuan zaman tetap menghargai kebijaksanaan masa lalu. Langkah-langkah sederhana namun penuh makna ini menggambarkan pentingnya harmoni antara tradisi dan inovasi dalam menghormati jejak seorang pemimpin besar.