Pada perdagangan terakhir, mata uang rupiah menunjukkan performa stabil tanpa perubahan signifikan terhadap dolar AS. Meskipun demikian, dinamika kebijakan moneter dari bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dan perkembangan perang dagang menjadi faktor utama yang mempengaruhi arah nilai tukar. Indeks dolar AS mengalami kenaikan sementara penjualan ritel domestik AS mencatatkan pertumbuhan kuat.
Ketua The Fed, Jerome Powell, memberikan peringatan tentang potensi dampak negatif tarif terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, investor sedang menilai kemungkinan adanya negosiasi dagang antara AS dan China, yang dapat berdampak pada stabilitas pasar global.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menutup dalam kondisi stagnan, mencerminkan ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi global. Meskipun tidak ada perubahan signifikan, situasi ini tetap menjadi indikator penting bagi para pelaku pasar untuk mengevaluasi prospek investasi di Indonesia.
Rupiah ditutup pada posisi Rp16.820/US$ pada perdagangan Kamis lalu, dengan performa serupa dibandingkan hari sebelumnya. Kenaikan indeks dolar AS hingga 0,18% menunjukkan dominasi greenback di pasar internasional. Hal ini disebabkan oleh kehati-hatian The Fed terkait kebijakan moneter dan dampak dari perubahan kebijakan perdagangan global. Pernyataan Ketua The Fed, Jerome Powell, bahwa tarif dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan risiko inflasi, menjadi sorotan utama. Dengan demikian, sikap The Fed yang cenderung menahan diri sebelum mengambil langkah kebijakan apa pun, menambah ketidakpastian pasar.
Penjualan ritel AS yang melonjak pada bulan Maret mencatatkan pertumbuhan terkuat dalam lebih dari dua tahun. Faktor ini menciptakan optimisme di tengah ketidakpastian ekonomi global, namun secara bersamaan menekan performa rupiah di pasar valuta asing.
Pertumbuhan penjualan ritel AS memberikan sinyal positif terhadap daya beli konsumen, meskipun ketegangan dagang masih menjadi ancaman besar bagi perekonomian global. Para pelaku pasar mengantisipasi kemungkinan negosiasi dagang antara AS dan China, dengan Beijing dikabarkan siap membuka dialog di bawah kondisi tertentu. Sentimen positif dari data penjualan ritel AS tersebut sementara waktu dapat membebani performa mata uang Garuda. Hal ini disebabkan oleh spekulasi pasar terhadap arah kebijakan moneter The Fed yang akan berdampak langsung pada nilai dolar AS dan dampaknya terhadap mata uang emerging market seperti rupiah.