Pengemudi ojek online di Jakarta menyoroti besaran Bonus Hari Raya (BHR) yang dirasa kurang memadai. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer memberikan klarifikasi bahwa nominal tersebut disesuaikan dengan kategori pekerjaan pengemudi. Pengemudi paruh waktu menerima Rp50.000, sementara penuh waktu mendapat BHR lebih besar hingga jutaan rupiah. Perusahaan seperti Gojek dan Grab telah menggelontorkan bonus untuk para mitra mereka, namun protes tetap muncul dari kelompok Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI). Pemerintah berencana melanjutkan dialog dengan platform digital guna mencari kebijakan yang adil bagi semua pihak.
Dalam suasana ibu kota yang masih dipenuhi aktivitas transportasi, sejumlah pengemudi ojek online menyampaikan aspirasi mereka terkait besaran BHR pada awal bulan Maret 2025. Menurut informasi yang diperoleh, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menjelaskan secara rinci mekanisme penetapan bonus ini di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan. Ia menegaskan bahwa pengemudi yang hanya bekerja sebagai pekerja sambilan memiliki hak atas tunjangan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang sepenuhnya bergantung pada profesi ini.
Di tengah perdebatan, perusahaan aplikator seperti Gojek dan Grab telah menunjukkan komitmennya dalam memberikan BHR kepada ratusan ribu pengemudi. Contohnya, Gojek memberikan bonus tertinggi sebesar Rp900.000 untuk roda dua dan Rp1.600.000 untuk roda empat. Sementara itu, Grab juga telah menyalurkan BHR senilai Rp850.000 hingga Rp1.600.000 sesuai kategori. Namun, ketidakpuasan tetap muncul dari kalangan SPAI yang merasa nominal Rp50.000 tidak sesuai dengan kontribusi pengemudi selama satu tahun.
Pemerintah melalui Kemnaker menyatakan akan terus melakukan mediasi antara pihak pengemudi dan aplikator. Diharapkan solusi yang dihasilkan dapat mempertimbangkan kondisi nyata pengemudi serta etika bisnis platform digital.
Dari perspektif pembaca, isu ini membuka mata kita tentang pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja informal seperti pengemudi ojek online. Meskipun status mereka adalah mitra, bukan karyawan tetap, tetap ada tanggung jawab moral perusahaan untuk memastikan kesejahteraan mereka. Protes ini menjadi pengingat bahwa harmonisasi antara teknologi dan kemanusiaan harus menjadi prioritas dalam era digital saat ini.