Dalam sejarah kekuasaan Mataram, nama Sultan Amangkurat I dikenang sebagai sosok yang gemar bertindak sewenang-wenang. Salah satu saksi bisu dari tindakan kejamnya adalah meriam besar bernama Sapujagat. Meriam ini menjadi simbol eksekusi terhadap warga yang dianggap bersalah tanpa adanya bukti nyata. Selama masa pemerintahannya, Sultan Amangkurat I sering memerintahkan pembunuhan massal dengan dalih menghilangkan ancaman terhadap kerajaan. Dengan bantuan empat tokoh terpercaya, ia berhasil membunuh ribuan orang dalam waktu singkat. Setelah setiap aksi brutal, Sultan berusaha untuk menutupi perannya dengan pura-pura tidak mengetahui insiden tersebut.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Amangkurat I dikenal karena cara kepemimpinannya yang otoriter dan kejam. Ia kerap kali menginstruksikan anak buahnya untuk melakukan penyelidikan mendalam kepada para pemuka agama serta kelompok-kelompok tertentu yang dianggap mencurigakan. Empat tokoh utama, yakni Raden Mas, Tumenggung Natairnawa, Tumenggung Suranata, dan Kiai Ngabei Wirapatra, menjadi pelaku utama dalam menjalankan perintah keras tersebut. Mereka diminta untuk menyusun daftar nama, keluarga, hingga alamat para target yang akan dibasmi.
Untuk memastikan bahwa kebijakannya tetap aman dari kritik, Sultan memilih untuk tidak muncul di depan umum. Sebagai gantinya, ia memerintahkan agar sidang peradilan tetap berlangsung secara rutin di dalam istana, meskipun lokasi resmi seharusnya di Sitinggil. Dengan pendekatan ini, Sultan dapat bekerja lebih teliti dan menghindari kontak langsung dengan rakyatnya. Berdasarkan catatan H.J. De Graaf dalam tulisannya tentang "Disintegrasi Mataram: Dibawah Mangkurat I", setelah mengumpulkan informasi yang cukup, Sultan memberikan instruksi final kepada tim kepercayaannya untuk melaksanakan operasi besar-besaran.
Tembakan dari meriam Sapujagat atau Pancawara di Istana menjadi isyarat awal bagi pembantaian yang dilakukan. Dalam waktu kurang dari setengah jam, ribuan jiwa tak bersalah tewas dengan cara yang sangat mengerikan. Sultan sendiri melindungi dirinya dengan pengawal pribadi yang tangguh, dipimpin oleh orang-orang yang paling dipercayainya. Meski demikian, ia selalu berusaha untuk mengelakkan tanggung jawab atas tindakan kekerasan yang telah dilakukan.
Setelah setiap insiden brutal, Sultan biasanya muncul di hadapan umum dengan wajah marah dan terkejut. Sikap ini membuat para pembesar dan rakyat semakin takut. Ia juga sering menyalahkan kelompok lain, seperti para pemuka agama, atas kematian anggota keluarganya. Dalam salah satu kesempatan, Sultan memerintahkan penangkapan beberapa orang yang diduga terlibat dalam rencana pemberontakan. Tanpa bukti yang jelas, mereka serta keluarganya segera dihukum mati.
Berakhirnya setiap sesi kekerasan meninggalkan suasana tegang di kalangan pembesar kerajaan. Para pejabat tua yang diangkat oleh ayahnya harus hidup dalam ketakutan konstan. Kebrutalan ini akhirnya memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh Sultan Amangkurat I, meskipun caranya penuh dengan manipulasi dan kebohongan. Meriam Sapujagat tetap menjadi saksi bisu dari kejahatan yang dilakukan di bawah naungan kerajaan Mataram pada masa itu.