Dalam beberapa tahun terakhir, Korea Selatan menghadapi tantangan serius akibat penurunan jumlah penduduk. Generasi muda yang semakin enggan menikah dan memiliki anak telah menyebabkan angka kelahiran yang sangat rendah. Akibatnya, banyak sekolah di berbagai wilayah negara ini terpaksa tutup karena kurangnya pendaftar siswa baru. Situasi ini mencerminkan dampak nyata dari krisis demografi yang sedang melanda Korea Selatan.
Pada musim gugur yang penuh perubahan ini, Kementerian Pendidikan Korea Selatan melaporkan bahwa sebanyak 49 sekolah akan ditutup pada tahun ini. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode lima tahun terakhir. Sebagian besar sekolah yang terkena dampak berlokasi di daerah pedesaan, di mana 88 persen dari total penutupan direncanakan. Tidak ada satupun sekolah di ibu kota Seoul yang masuk dalam daftar penutupan ini.
Provinsi Jeolla Selatan menjadi wilayah dengan jumlah penutupan terbanyak, mencapai 10 sekolah. Diikuti oleh Provinsi Chungcheong Selatan dengan sembilan sekolah. Mayoritas sekolah yang ditutup adalah sekolah dasar, yaitu 38 unit, sementara sisanya adalah sekolah menengah pertama dan atas.
Selain itu, data menunjukkan bahwa hingga April lalu, sebanyak 112 sekolah dasar di seluruh negeri tidak menerima siswa baru. Provinsi Jeolla Utara mencatat 34 sekolah dasar tanpa siswa baru, menjadikannya daerah dengan angka tertinggi.
Penutupan ini mencerminkan realitas sosial ekonomi Korea Selatan, di mana generasi muda cenderung memilih untuk tidak menikah atau menunda memiliki anak. Faktor-faktor seperti tekanan ekonomi, biaya hidup yang tinggi, dan gaya hidup modern berkontribusi pada fenomena ini.
Dari perspektif seorang jurnalis, situasi ini menggambarkan tantangan besar yang dihadapi oleh negara maju seperti Korea Selatan. Krisis demografi bukan hanya masalah pendidikan, tetapi juga menyangkut masa depan ekonomi dan sosial bangsa. Upaya pemerintah untuk merespons isu ini harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan berbagai aspek kehidupan masyarakat.