Lebaran bukan hanya perayaan keagamaan yang diperingati oleh umat Islam di seluruh dunia, tetapi juga momentum refleksi mendalam tentang nilai-nilai universal yang dapat membangun harmoni global. Sebagai hari kemenangan atas hawa nafsu, Idulfitri menjadi ajang untuk mengevaluasi bagaimana prinsip Islam berinteraksi dengan dinamika internasional. Dari diplomasi antarnegara hingga upaya kemanusiaan, momen ini memberikan pelajaran penting tentang rekonsiliasi, solidaritas, dan harapan dalam menghadapi konflik serta ketimpangan sosial.
Dalam konteks hubungan internasional, Lebaran telah dimanfaatkan sebagai alat soft power oleh banyak negara. Pemimpin dunia seperti Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dan Raja Salman dari Arab Saudi menggunakan momen ini untuk memperkuat hubungan diplomatik dengan negara-negara sahabat. Di sisi lain, pemimpin negara Barat seperti Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Kanselir Jerman Olaf Scholz juga menyampaikan salam Idulfitri, mencerminkan pentingnya keberagaman dalam diplomasi global.
Bahkan di Amerika Serikat, tradisi jamuan iftar di Gedung Putih telah menjadi sarana untuk menjembatani komunitas Muslim baik di dalam maupun luar negeri. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan setiap pemimpin, seperti Donald Trump yang sempat mengabaikan tradisi ini pada awal masa jabatannya, momen Lebaran terus menjadi bagian dari strategi diplomasi lintas budaya.
Tak hanya soal diplomasi, Lebaran juga memiliki dimensi kemanusiaan yang kuat. Zakat fitrah, sebagai instrumen sosial, mencerminkan komitmen Islam dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Tahun ini, organisasi-organisasi seperti UNHCR dan UNICEF melibatkan diri dalam penggalangan dana bagi pengungsi Palestina yang masih menghadapi tantangan akibat konflik berkepanjangan. Ini menunjukkan bahwa makna Lebaran melampaui sekadar ritual perayaan; ia adalah panggilan untuk bertindak demi kebaikan bersama.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki posisi unik dalam diplomasi Idulfitri. Tradisi mudik, meskipun semakin kompleks dalam konteks ekonomi modern, mencerminkan nilai silaturahmi yang menjadi inti dari perayaan ini. Namun, tantangan muncul ketika komersialisasi Lebaran mulai mengikis esensinya. Apakah kita benar-benar merayakan kemenangan spiritual, atau justru larut dalam euforia material?
Sejarah mencatat bahwa Lebaran sering kali menjadi kesempatan untuk gencatan senjata, seperti yang terjadi di Afghanistan dan Yaman. Namun, ironisnya, di banyak wilayah dunia Muslim, konflik tetap berlangsung bahkan di hari suci ini. Bom masih meledak, senjata masih berbicara, dan darah masih tertumpah. Hal ini menunjukkan bahwa kemenangan sejati belum sepenuhnya diraih.
Di tengah dinamika global ini, Lebaran menawarkan prinsip-prinsip yang dapat menjadi fondasi untuk membangun dunia yang lebih adil dan damai. Konsep silaturahmi dapat diartikan sebagai diplomasi kemanusiaan yang melampaui batas ideologi. Prinsip zakat fitrah menegaskan urgensi redistribusi kekayaan untuk mengatasi ketimpangan global. Spirit pemaafan yang menjadi inti Idulfitri bisa menjadi solusi bagi kebuntuan diplomasi internasional.
Lebaran bukan hanya tentang berbagi makanan, tetapi juga tentang bagaimana kita menjadikannya momentum untuk membangun dunia yang lebih adil dan manusiawi. Mari rayakan hari kemenangan ini dengan refleksi mendalam, sehingga ia menjadi kemenangan bagi seluruh umat manusia, bukan sekadar seremoni tahunan yang kehilangan makna.