Insiden yang mengejutkan terjadi terhadap seorang mahasiswa pascasarjana dari Universitas Tufts, Rumeysa Ozturk, ketika ia mengalami penahanan mendadak oleh petugas berpakaian sipil. Dalam malam hari saat ia hendak menuju acara berbuka puasa bersama teman-temannya, enam orang yang tampak seperti preman tiba-tiba mengelilinginya dekat apartemennya di Somerville, Massachusetts. Video pengawasan menunjukkan momen dramatis ketika salah satu petugas mencengkeram pergelangan tangan Ozturk dengan kasar, sementara yang lainnya menunjukkan lencana polisi dan menyita telepon genggamnya. Kegelisahan semakin memuncak ketika para petugas mulai mengungkapkan identitas mereka setelah sebelumnya menyembunyikan wajah mereka di balik kain penutup.
Pengalaman traumatis bagi Ozturk tidak berhenti di situ. Setelah ditahan dan diperlakukan dengan cara yang kontroversial, dia dibawa ke dalam kendaraan serbaguna sport (SUV) dan dikirim ke lokasi yang jauh dari tempat tinggalnya. Sebagai pemegang visa pelajar F-1 yang sah dari Turki, Ozturk harus melalui proses hukum yang rumit. Ia ditempatkan di fasilitas penampungan di Alexandria, Louisiana, meskipun ada perintah pengadilan yang secara eksplisit melarang pemindahannya keluar dari Massachusetts tanpa pemberitahuan 48 jam sebelumnya. Perjalanan ini membawa Ozturk menyeberangi beberapa negara bagian, mencerminkan kompleksitas sistem administratif yang menimpanya.
Kejadian ini menyoroti pentingnya perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi mahasiswa internasional yang sedang menuntut ilmu di negara asing. Meskipun penegakan hukum sangatlah penting, keadilan dan transparansi tetap menjadi nilai utama yang harus dipertahankan. Kebebasan individu, termasuk hak untuk merasa aman dan dilindungi di tempat tinggal atau studi, adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak yang terlibat dalam penegakan hukum. Melalui insiden ini, masyarakat diharapkan lebih memperhatikan perlunya kesetaraan dan rasa hormat terhadap hak-hak dasar setiap individu.