Pada Februari 2025, Bank Indonesia merilis survei yang menunjukkan penurunan porsi tabungan masyarakat secara bertahap. Hal ini mencerminkan lesunya daya beli konsumen di berbagai sektor. Namun, fenomena unik terjadi di pasar barang mewah bekas atau secondhand luxury. Berbeda dari sektor lainnya, bisnis ini justru melihat antusiasme yang tetap tinggi dari para pembeli. Menariknya, tren ini tidak hanya didorong oleh faktor harga yang lebih terjangkau, tetapi juga oleh nilai sentimental dan kepuasan psikologis yang diberikan oleh barang-barang branded tersebut.
Dalam suasana musim semi Jakarta yang hangat, Irresistible Bazaar, sebuah acara khusus untuk menjual barang mewah bekas, berhasil menarik perhatian banyak pengunjung. Renaningtyas, kepala promosi acara ini, mengungkapkan bahwa meskipun kondisi ekonomi sedang lesu, tenant-tenant di bazaarnya tidak mengeluh tentang kesulitan menjual produk mereka. Acara ini diadakan pada Kamis (20/3/2025) di Gandaria City Mall, Jakarta Selatan.
Tren global juga mendukung pertumbuhan pasar barang mewah bekas ini. Pada tahun 2023, nilai pasar tas mewah preloved telah mencapai US$ 34,39 miliar dan diprediksi akan meningkat hingga US$ 60,55 miliar pada 2029. Renaningtyas menjelaskan bahwa daya tarik utama barang preloved adalah kombinasi antara harga yang lebih ramah kantong dan kualitas premium yang tetap memuaskan. Lebih dari sekadar transaksi, pembelian barang secondhand ini sering kali memiliki nilai emosional bagi pembeli, terutama kalangan menengah yang ingin merasakan gaya hidup mewah tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Barang-barang yang menjadi incaran utama termasuk tas, aksesori, serta jam tangan dari merek-merek ternama seperti Chanel, Hermes, Louis Vuitton, Prada, Rolex, Fendi, Longines, Tag Heuer, Patek Philippe, dan Gucci. Selain itu, tren ini juga mencerminkan semakin kuatnya kesadaran konsumen terhadap gaya hidup berkelanjutan. Dengan membeli barang preloved, konsumen turut berkontribusi dalam upaya pengurangan limbah konsumsi.
Reporter: Seorang jurnalis independen
Dari perspektif seorang jurnalis, fenomena ini menunjukkan bagaimana adaptasi konsumen terhadap tantangan ekonomi modern. Melalui pembelian barang preloved, masyarakat tidak hanya mencari solusi hemat tetapi juga menyadari pentingnya etika konsumsi. Bagi pembaca, artikel ini bisa menjadi pengingat bahwa nilai sebuah barang bukan hanya terletak pada harganya, tetapi juga pada cerita dan dampak lingkungan yang dibawanya. Tren ini memberikan peluang baru bagi industri mode sambil memperkuat prinsip keberlanjutan.