Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, eksepsi merupakan salah satu upaya hukum yang diberikan kepada pihak terdakwa untuk menunjukkan keberatan terkait kewenangan pengadilan. Namun, dalam kasus mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di PN Jakarta Pusat memutuskan untuk menolak eksepsi yang diajukan tanpa memberikan alasan yuridis yang memadai. Keputusan ini menimbulkan kontroversi besar, karena menyinggung prinsip fair and just trial serta mencerminkan potensi diskriminasi dalam penegakan hukum. Selain itu, Kejaksaan Agung juga belum memberikan klarifikasi yang cukup tentang ketidaksesuaian perlakuan hukum antara Tom Lembong dan figur lain yang terlibat dalam kasus serupa.
Kasus ini bermula dari keberatan yang diajukan oleh kuasa hukum Tom Lembong terkait kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk memeriksa tindak pidana yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang Perdagangan Impor dan Ekspor. Menurut pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hak terdakwa untuk menyatakan keberatan harus dipertimbangkan secara serius sebelum masuk ke tahap pemeriksaan pokok perkara. Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor di Jakarta Pusat justru menolak eksepsi tersebut dengan alasan bahwa isu tersebut akan dibahas lebih lanjut selama pemeriksaan pokok perkara. Pendekatan ini bertentangan dengan substansi eksepsi yang jelas-jelas berbicara mengenai batas kewenangan pengadilan.
Selain itu, UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim harus menjalankan tugasnya secara bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dan didasarkan pada nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam konteks ini, banyak pihak mulai meragukan apakah proses peradilan terhadap Tom Lembong benar-benar adil atau hanya menjadi bagian dari agenda tertentu. Faktanya, tidak adanya penjelasan yang memadai dari Kejaksaan Agung semakin memperkuat persepsi bahwa ada ketidakadilan dalam penanganan kasus ini.
Pengabaian hak asasi terdakwa melalui penolakan eksepsi tanpa pertimbangan yuridis yang kuat mencerminkan pelanggaran terhadap Pasal 6 huruf c UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini juga menunjukkan adanya kemungkinan "peradilan sesat" (miscarriage of justice) yang dapat merusak integritas sistem kehakiman di Indonesia. Publik, khususnya di ibu kota, yang sudah memiliki pemahaman lebih baik tentang hukum, tentu saja prihatin dengan cara penanganan kasus ini.
Keputusan Pengadilan Tipikor di Jakarta Pusat untuk menolak eksepsi terdakwa Tom Lembong telah menyoroti kelemahan dalam sistem peradilan pidana korupsi. Tanpa adanya alasan yuridis yang memadai, langkah ini tidak hanya melanggar prinsip dasar hukum tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap keadilan. Oleh karena itu, Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung perlu turun tangan untuk memastikan bahwa muruah kekuasaan kehakiman tetap terjaga dan menjadi harapan bagi pencari keadilan di negara hukum Pancasila.