Harga minyak global mengalami penurunan signifikan di pasar Asia pada hari Jumat (4/4/2025), seiring kekhawatiran akan munculnya perang dagang internasional. Pengumuman tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memicu ketakutan terhadap perlambatan ekonomi global yang dapat menekan permintaan minyak. Selain itu, rencana Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) untuk meningkatkan produksi juga memperburuk situasi ini.
Pada perdagangan awal di wilayah Asia, harga minyak mentah Brent turun 0,4% menjadi USD69,83 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) AS turun 0,5% menjadi USD66,63. Penurunan ini menjadikan minggu tersebut sebagai periode kerugian terbesar dalam beberapa bulan terakhir. Keputusan OPEC+ untuk memajukan peningkatan produksi hingga 411.000 barel per hari pada bulan Mei, dari rencana semula sebesar 135.000 barel per hari, menambah tekanan pada harga minyak.
Analis di ING menyatakan bahwa surplus pasar minyak tahun ini kemungkinan akan lebih cepat terjadi dengan adanya tambahan pasokan dari OPEC+. Ini berdampak pada penyebaran harga antara Brent dan Dubai, yang selama ini cenderung mengalami diskon tidak biasa.
Kebijakan tarif dasar 10% atas semua impor ke Amerika Serikat yang diumumkan Trump pada Rabu (2/4) malam, disebut-sebut sebagai penyebab utama anjloknya harga minyak. Meskipun impor minyak dan produk olahannya tidak termasuk dalam tarif baru, kebijakan ini diperkirakan memicu inflasi serta memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Seorang analis energi menyoroti bahwa kondisi ini dapat memperburuk ketegangan perdagangan global dan berpotensi meredam permintaan minyak di masa mendatang.
Dari perspektif jurnalis, laporan ini memberikan gambaran tentang bagaimana kebijakan ekonomi satu negara dapat berdampak luas pada pasar global. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya koordinasi internasional dalam menghadapi tantangan ekonomi. Perlambatan ekonomi akibat konflik dagang dapat berpengaruh langsung pada industri minyak, yang merupakan tulang punggung banyak sektor lainnya. Oleh karena itu, kebijakan yang bijaksana dan kolaboratif sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pasar global.