Menjelang perayaan Idul Fitri tahun 2025, proyeksi penurunan aktivitas ekonomi mulai terlihat. Survei dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa jumlah pemudik diperkirakan turun hingga 24% dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan asumsi ini, transaksi uang yang berkaitan dengan Lebaran diproyeksikan mencapai Rp 137,9 triliun, lebih rendah daripada periode yang sama di tahun lalu. Analis menyebutkan alasan utama penurunan ini adalah kecenderungan masyarakat untuk mengurangi pengeluaran meskipun likuiditas pasar tetap kuat.
Dari sisi ekonomi makro, tren ini dapat memberikan dampak signifikan pada sektor ritel dan transportasi. Selain itu, para ahli juga menyoroti pentingnya strategi pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional selama masa liburan.
Berdasarkan hasil survei dari beberapa lembaga, seperti badan kebijakan transportasi dan Kementerian Perhubungan, ditemukan indikasi bahwa minat masyarakat untuk mudik menurun secara signifikan. Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 52% penduduk Indonesia yang akan melakukan perjalanan mudik, yaitu sekitar 146 juta orang. Angka ini menandakan penurunan drastis sebesar 24% dibandingkan tahun lalu. Penyebab utama fenomena ini antara lain adalah pertimbangan biaya serta preferensi gaya hidup yang bergeser di kalangan masyarakat modern.
Kendati demikian, faktor ekonomi juga memainkan peran besar dalam tren ini. Banyak keluarga yang memilih untuk tetap tinggal di kota tempat mereka bekerja demi menghemat pengeluaran. Selain itu, adanya opsi liburan alternatif seperti staycation atau wisata lokal menjadi daya tarik baru bagi sebagian besar masyarakat perkotaan. Lembaga kebijakan transportasi bahkan melaporkan bahwa permintaan tiket kereta api dan pesawat menunjukkan penurunan sejak awal bulan Februari 2025. Hal ini menunjukkan perubahan pola konsumsi yang cukup signifikan di kalangan masyarakat Indonesia.
Efek dari penurunan jumlah pemudik ini langsung tercermin pada proyeksi perputaran uang selama musim Lebaran. Berdasarkan analisis dari Ekonom Bank Mandiri, Agus Santoso, angka tersebut diperkirakan mencapai Rp 137,9 triliun, turun dari Rp 157,3 triliun pada tahun lalu. Meskipun likuiditas pasar masih cukup kuat, kecenderungan masyarakat untuk menahan belanja menjadi salah satu penyebab utama fenomena ini. Para pakar menilai bahwa situasi ini dapat berdampak negatif pada sektor bisnis ritel dan transportasi.
Selain itu, kondisi ini juga menggambarkan pergeseran prioritas finansial di kalangan masyarakat. Dalam dialog bersama CNBC Indonesia, Agus Santoso menjelaskan bahwa masyarakat cenderung lebih selektif dalam menggunakan uang mereka, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah harus merancang kebijakan yang mendorong konsumsi domestik tanpa mengorbankan stabilitas finansial nasional. Salah satu langkah konkret yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan insentif fiskal bagi sektor usaha mikro dan menengah yang sering kali terkena dampak langsung dari penurunan aktivitas ekonomi akhir tahun.