Pemberian gelar haji kepada warga yang telah menunaikan ibadah haji ternyata memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Budaya ini tidak hanya berkaitan dengan aspek spiritualitas, tetapi juga politik pada masa kolonial Hindia Belanda. Pemerintahan kolonial menganggap para jamaah haji sebagai ancaman potensial karena mereka membawa ajaran baru yang dapat memicu pemberontakan terhadap penjajah. Untuk mengawasi mereka lebih mudah, sistem pemberian gelar haji diperkenalkan sebagai tanda pengenal.
Sistem ini kemudian bertahan hingga era modern meskipun latar belakang politisnya sudah hilang. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana praktik ini bermula dan dampaknya hingga saat ini.
Gelar haji bukanlah tradisi yang berasal dari aturan Islam atau Kerajaan Arab Saudi, melainkan kebiasaan yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dua abad lalu. Ketika itu, perjalanan haji dipandang sebagai peluang bagi para jamaah untuk mempelajari ideologi baru di Tanah Suci. Setelah kembali ke tanah air, mereka sering menyebarkan gagasan-gagasan tersebut yang bisa memicu ketidakpuasan terhadap pemerintah kolonial.
Dalam konteks politik, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pertama kali mencatat fenomena ini pada tahun 1810-an. Ia percaya bahwa orang-orang yang baru pulang dari haji cenderung menghasut rakyat untuk berontak. Untuk mengantisipasi hal ini, sistem paspor haji diperkenalkan sebagai mekanisme kontrol. Selain itu, Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles dari Inggris juga mencatat bahwa orang Jawa yang melakukan haji kerap mengklaim kesucian yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat. Hal ini memperkuat keyakinan penjajah bahwa jamaah haji harus diawasi secara ketat.
Oleh karena itu, pada tahun 1859, aturan formal tentang pengawasan jamaah haji diterapkan. Mereka diwajibkan melewati ujian tertentu setelah kembali dari Makkah. Apabila berhasil, mereka diberi gelar haji dalam nama mereka serta diminta mengenakan pakaian khas, seperti jubah ihram dan sorban putih. Tujuan utama adalah mempermudah pemantauan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berbahaya.
Tindakan ini semakin diperketat setelah beberapa pemberontakan besar, termasuk Perang Jawa (1825-1830), yang diduga dipicu oleh mantan jamaah haji. Dengan pencantuman gelar haji, pemerintah kolonial dapat dengan cepat mengidentifikasi dan menangkap pelaku pemberontakan di suatu daerah. Ini menjadi strategi efektif bagi kolonial untuk menjaga stabilitas politik di wilayah mereka.
Meskipun Indonesia merdeka pada tahun 1945, warisan pemberian gelar haji tetap lestari hingga saat ini. Sebagai budaya yang telah tertanam selama ratusan tahun, tradisi ini terus dilanjutkan lintas generasi. Namun, makna politis yang awalnya melatarbelakangi kebijakan ini telah lenyap, dan sekarang gelar haji lebih dihubungkan dengan penghargaan spiritual atas penyelesaian salah satu rukun Islam.
Di era modern, gelar haji tidak lagi dijadikan alat pengawasan. Namun, ada argumen bahwa panggilan ini mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip Islam. Beberapa ulama menekankan bahwa agama tidak mensyaratkan seseorang untuk menggunakan gelar setelah menunaikan ibadah haji. Alih-alih, fokus lebih baik diletakkan pada nilai-nilai spiritual yang dibawa pulang oleh jamaah.
Tradisi ini juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kolonial dalam membentuk norma-norma sosial di Indonesia. Meskipun banyak aspek dekolonisasi telah dilakukan setelah kemerdekaan, beberapa praktik kolonial masih bertahan hingga hari ini. Gelar haji adalah salah satu contoh yang menarik dari fenomena ini.
Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk memahami asal-usul gelar ini agar tidak salah kaprah terhadap artinya. Melalui pemahaman yang lebih mendalam, kita dapat mengevaluasi apakah praktik ini masih relevan di zaman modern atau perlu direvisi demi menjaga integritas nilai-nilai agama yang sesungguhnya.