Di tengah perayaan Hari Kemenangan Perang Dunia II, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan gencatan senjata selama tiga hari dengan Ukraina. Meski demikian, langkah ini dianggap sebagai sandiwara politik oleh pemerintah Ukraina, yang tetap skeptis atas niat baik Rusia setelah pengalaman buruk dari gencatan sebelumnya. Sementara itu, Amerika Serikat terus menekan untuk solusi damai dalam konflik yang sudah berlangsung hampir tiga tahun.
Pada momen bersejarah peringatan akhir Perang Dunia II, pemimpin Kremlin mencoba menginisiasi dialog perdamaian melalui gencatan senjata singkat. Namun, atmosfer kecurigaan masih menguasai situasi. Ukraina, dipimpin oleh Volodymyr Zelensky, menuntut durasi gencatan lebih panjang guna memfasilitasi diplomasi internasional. Dalam pidatonya, Zelensky menegaskan bahwa usaha perdamaian harus didasarkan pada itikad yang jelas.
Situasi medan perang tetap cair meskipun gencatan resmi telah dimulai. Beberapa jam menjelang efektivitas kebijakan ini, serangan udara saling dilancarkan oleh kedua belah pihak. Korban jiwa tercatat di wilayah Ukraina, termasuk seorang ibu dan anaknya akibat bom Rusia. Sebagai balasan, Ukraina menerjunkan drone secara masif ke berbagai kota besar Rusia seperti Moskow dan Saint Petersburg, menyebabkan gangguan operasional bandara-bandara penting.
Dari sudut pandang diplomatik, dunia masih menanti tanda nyata komitmen dari Rusia terhadap perdamaian yang berkelanjutan.
Berita ini memberikan pelajaran tentang kompleksitas diplomasi di tengah konflik bersenjata. Upaya gencatan senjata tanpa kepercayaan saling mengikat hanya akan menjadi tindakan kosmetik yang sulit menghasilkan hasil konkret. Untuk menciptakan perdamaian abadi, kedua belah pihak harus benar-benar membuka diri terhadap dialog yang transparan dan adil.