Pada tahun 1969, dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan India, Mohammad Reza Pahlavi, Shah terakhir Iran, menunjukkan kesiapannya untuk melepaskan kendali atas kepulauan Bahrain. Meskipun sebelumnya mengklaim kedaulatan atas wilayah yang kaya minyak ini, ia mendukung pemisahan Bahrain dari Iran. Hal ini menciptakan perbandingan dengan tindakan-tindakan penyerahan wilayah oleh Shah lain dari dinasti Qajar dan Pahlavi. Namun, Bahrain menjadi kasus unik karena merupakan wilayah pertama yang diserahkan secara sukarela oleh Mohammad Reza Shah.
Bahrain telah menjadi bagian integral dari Iran selama berabad-abad, setidaknya sejak era Sassanid yang berlangsung dari tahun 224 hingga 651 Masehi. Pada tanggal 12 November 1957, Bahrain diakui sebagai provinsi ke-14 Iran dan memiliki dua kursi di parlemen negara tersebut. Bahkan pada awal tahun 1900-an, satu kursi parlemen sudah didedikasikan untuk wilayah ini. Pada tahun 1958, Sheikh Salman bin Hamad Al Khalifa, penguasa Bahrain, menyatakan kesetiaannya kepada Iran.
Dari segi historis, Bahrain dulu dianggap sebagai bagian dari provinsi Fars sebelum tahun 1957. Selama periode dinasti Safavid, wilayah ini berada di bawah administrasi Bushehr, bersama dengan Zubarah (sekarang bagian dari Qatar). Pada tahun 1737, di bawah dinasti Afsharid, Bahrain menjadi tanggung jawab gubernur provinsi Fars. Namun, pada tanggal 14 Mei 1971, resolusi yang disetujui oleh Majelis Konsultatif Nasional Iran secara resmi mencabut status provinsi Bahrain dengan mayoritas suara 184 mendukung dan hanya empat suara yang menentang.
Keputusan Mohammad Reza Shah untuk melepaskan kendali atas Bahrain menandai perubahan besar dalam hubungan antara kedua negara. Ini juga menunjukkan pergeseran strategis dalam politik luar negeri Iran pada masa itu.
Sebagai pembaca, kita bisa belajar bahwa keputusan politik sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor strategis dan diplomatis yang kompleks. Tindakan Mohammad Reza Shah memberikan pelajaran tentang pentingnya adaptasi dan fleksibilitas dalam hubungan internasional, meskipun hal tersebut mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan aspirasi sejarah atau nasionalisme. Keputusan ini juga menunjukkan betapa dinamisnya geopolitik Timur Tengah, di mana perbatasan dan kedaulatan dapat bergeser sesuai dengan konteks waktu tertentu.