Pada hari Rabu, Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan bahwa sistem pertahanan udara Moskow berhasil menembak jatuh lebih dari 500 drone milik Ukraina selama satu periode waktu. Selain itu, dua roket HIMARS dari AS, lima rudal Neptune, serta enam bom JDAM yang diluncurkan oleh pasukan Kyiv juga dihancurkan. Serangan udara ini meningkat menjelang gencatan senjata tiga hari yang dijadwalkan dimulai pada malam tanggal 7-8 Mei hingga berakhir pada tengah malam tanggal 10-11 Mei. Gencatan senjata ini bertujuan untuk memperingati kemenangan Soviet atas Jerman Nazi selama Perang Dunia II. Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menolak rencana tersebut, menyebutnya sebagai "upaya manipulasi".
Dalam suasana musim semi yang semakin panas, ketegangan antara Rusia dan Ukraina mencapai puncaknya. Sistem pertahanan udara Moskow melaporkan keberhasilannya dalam menghadapi serangan besar-besaran dari Ukraina. Pernyataan resmi dari Kremlin mengungkapkan bahwa serangan menggunakan drone telah meningkat secara signifikan seiring dengan mendekatinya periode gencatan senjata. Menurut laporan, serangan-serangan ini telah menyebabkan korban jiwa sebanyak 15 orang dan melukai lebih dari 140 lainnya hanya dalam satu minggu.
Gencatan senjata yang direncanakan oleh Rusia, meskipun dinyatakan sebagai langkah kemanusiaan, tidak diterima oleh pemerintah Ukraina. Jurubicara Kremlin Dmitry Peskov menuduh rezim Kyiv terlibat dalam tindakan teroris, sementara Ukraina memandang rencana ini sebagai upaya manipulatif. Ini menunjukkan betapa kompleksnya dinamika diplomatik dan militer di wilayah tersebut.
Dari perspektif seorang jurnalis, situasi ini memberi pelajaran penting tentang pentingnya diplomasi dalam konflik internasional. Meskipun kedua belah pihak memiliki alasan mereka sendiri, perlu ada ruang untuk dialog tanpa prasyarat guna mencegah eskalasi lebih lanjut. Gencatan senjata dapat menjadi titik awal bagi pembicaraan damai, tetapi hanya jika semua pihak bersedia mendengarkan dan bekerja sama demi kepentingan umum. Tanpa komunikasi yang efektif, risiko kekerasan terus meningkat, membawa dampak buruk bagi kedua negara dan masyarakat global secara keseluruhan.