Proses pemindahan ibu kota Kesultanan Mataram ke lokasi baru, yakni Istana Plered, menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah kerajaan ini. Dibawah pimpinan Sultan Amangkurat I, pembangunan megah tersebut melibatkan ratusan ribu warga Mataram dan memakan waktu bertahun-tahun. Proyek ini tidak hanya mencerminkan ambisi sang sultan tetapi juga mengungkap perjuangan masyarakat yang terlibat dalam pembangunannya. Selain itu, proyek besar ini dilengkapi dengan berbagai infrastruktur air yang mendukung keberlangsungan keraton.
Dengan visi untuk menciptakan sebuah istana yang megah, Sultan Amangkurat I memulai rencana pembangunan Istana Plered sebagai pengganti keraton lama. Namun, pembangunan bendungan dan danau buatan di sekitar kompleks istana juga menimbulkan konsekuensi sosial bagi masyarakat, termasuk defisit pangan akibat fokus pekerja pada proyek tersebut. Pembangunan ini menjadi simbol warisan kesultanan yang masih relevan hingga hari ini.
Berawal dari ide Sultan Agung, Sultan Amangkurat I melanjutkan proyek monumental dengan membangun Istana Plered. Proyek ini melibatkan jumlah tenaga kerja masif serta didesain dengan material berkualitas tinggi seperti batu bata. Langkah ini mencerminkan upaya Sultan untuk memperkokoh identitas kerajaan secara fisik dan simbolis.
Pada masa awal kepemimpinannya, Sultan Amangkurat I langsung mengambil tindakan konkret untuk mempercepat pembangunan keraton baru. Audisi besar-besaran dilakukan untuk memastikan semua aspek pembangunan berjalan lancar. Nama "Plered" sendiri dipilih sebagai penghormatan kepada Sultan Agung yang dulunya telah merencanakan pembangunan bendungan di lokasi tersebut. Bangunan air di sekitar kompleks istana menjadi bagian integral dari desainnya, mencerminkan harmoni antara arsitektur dan lingkungan alam. Ini menunjukkan bahwa proyek ini bukan sekadar pembangunan fisik tetapi juga merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh pendahulu Sultan Amangkurat I.
Meskipun proyek pembangunan Istana Plered membawa kemegahan bagi kerajaan, dampak sosialnya terhadap masyarakat tidak bisa diabaikan. Rakyat dari berbagai wilayah, termasuk Karawang, dikerahkan untuk bekerja pada bendungan dan danau buatan. Hal ini menyebabkan gangguan signifikan dalam aktivitas pertanian, sehingga memicu kekurangan beras di beberapa daerah.
Sejak tahun 1643, pembangunan bendungan dan danau buatan di Plered sudah dimulai sesuai rencana Sultan Agung. Pada tahun-tahun berikutnya, proyek ini terus dikembangkan hingga mencapai tahap akhir pada 1658. Warga Karawang, yang dipanggil untuk bekerja pada proyek ini, menghadapi tantangan besar karena tidak dapat menjalankan aktivitas pertanian mereka secara normal. Meskipun demikian, hasil jerih payah mereka ternyata membawa perubahan positif dengan perluasan danau yang memberikan manfaat ekologis bagi daerah tersebut. Bahkan, Sultan beserta permaisuri mengunjungi danau yang baru digali, yang kemudian dinamakan Segarayasa. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan sosial, proyek ini tetap menjadi simbol pencapaian besar dalam sejarah Kesultanan Mataram.