Sebagai salah satu tokoh penting dalam industri perfilman Tanah Air, Ray Sahetapy dikenang bukan hanya karena kontribusinya sebagai aktor dan sutradara, tetapi juga karena visi besar yang belum sempat diwujudkan. Olivia Zalianty, rekan dekat Ray, membuka tabir impian terakhir almarhum—membuat film bertema disabilitas, khususnya penyandang tuna rungu.
Di balik kepergiannya yang mendadak, Ray Sahetapy membawa mimpi besar yang menyeberangi batas geografis. Dari Manado hingga Amerika Serikat, Ray ingin menunjukkan bahwa film tidak hanya menjadi media hiburan, tetapi juga alat edukasi yang kuat. Olivia Zalianty menjelaskan bahwa Ray memiliki hasrat mendalam untuk menyuarakan cerita-cerita yang sering dilupakan oleh masyarakat luas.
Ia bercita-cita menciptakan sebuah karya sinematik yang dapat memvisualisasikan kehidupan penyandang tuna rungu secara autentik. Menurut Olivia, Ray percaya bahwa film adalah bahasa visual yang tak terbatas oleh kata-kata. "Film itu nggak perlu cerewet," ujarnya dengan nada penuh makna. Hal ini menunjukkan pemahaman mendalam Ray tentang bagaimana film bisa berbicara lebih dari sekadar dialog.
Ray Sahetapy selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap proyeknya. Ia yakin bahwa film dapat menjadi jembatan antara masyarakat umum dan komunitas penyandang disabilitas. Dengan fokus pada tuna rungu, Ray ingin mengeksplorasi cara-cara baru untuk menyampaikan narasi melalui gerakan tubuh dan ekspresi wajah.
Gagasan ini sejalan dengan prinsip dasar perfilman: bahwa gambar memiliki kekuatan untuk berbicara lebih dari kata-kata. Olivia Zalianty menegaskan bahwa Ray ingin menciptakan film bisu yang mampu menyentuh hati penonton dari berbagai latar belakang. "Itu akan menjadi sebuah film yang baik, bahkan tanpa suara," tambahnya. Pendekatan inovatif ini menunjukkan betapa visioner Ray dalam merancang karya seni yang inklusif.
Meskipun ide Ray sangat inspiratif, realisasi film bertema disabilitas tidak luput dari tantangan. Industri perfilman Indonesia masih jarang menyentuh topik sensitif seperti disabilitas. Banyak produser enggan mengambil risiko karena khawatir pasar tidak menerima cerita semacam itu. Namun, Ray melihat peluang di balik tantangan tersebut.
Dengan semangat optimisme, ia meyakini bahwa kisah-kisah tentang disabilitas dapat meraih simpati global jika diceritakan dengan benar. Olivia Zalianty mengungkapkan bahwa Ray sering kali berdiskusi tentang strategi pemasaran yang dapat menarik minat audiens internasional. "Ia punya rencana matang untuk memperkenalkan budaya lokal melalui sudut pandang unik," tuturnya. Ini menunjukkan dedikasi Ray terhadap pengembangan perfilman Indonesia yang lebih beragam dan inklusif.
Impian Ray Sahetapy untuk membuat film bertema disabilitas harus terus dihidupkan meski ia telah tiada. Komunitas perfilman Indonesia dipanggil untuk melanjutkan tongkat estafet ini sebagai bentuk penghormatan kepada sosok visioner tersebut. Olivia Zalianty optimistis bahwa mimpi Ray dapat direalisasikan melalui kolaborasi lintas sektor.
Berkaca pada jejak Ray, penting bagi sineas muda untuk terus menggarap cerita-cerita yang memberikan ruang bagi suara-suara marginal. Film bukan hanya soal hiburan, tetapi juga medium untuk menyuarakan kebenaran sosial. Dengan demikian, warisan Ray Sahetapy dapat terus menginspirasi generasi masa depan.