Sebuah sorotan tajam dilontarkan oleh anggota Asosiasi Pengacara Syari'ah Indonesia, M. Afif Kurniawan, mengenai praktik pengacara elite yang terlibat dalam skandal suap besar-besaran di kasus korupsi ekspor CPO. Para pengacara ini dituduh menggunakan keahlian hukum mereka untuk merugikan negara demi keuntungan pribadi. Selain itu, gaya hidup mewah mereka menjadi perhatian publik, sementara rakyat kebanyakan berjuang dengan krisis ekonomi.
Dua nama besar, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri, menjadi pusat perhatian setelah ditahan oleh kejaksaan atas tuduhan membayar hakim untuk memperoleh vonis sesuai keinginan klien mereka. Kerugian negara akibat praktik korupsi dalam industri sawit mencapai Rp17,7 triliun, namun alih-alih bertindak adil, para pengacara ini justru mencari jalan pintas ilegal.
Melalui pandangan Afif, pengacara seharusnya menjadi pelopor keadilan dan bukan simbol ketidakadilan. Namun, realitas menunjukkan bahwa segelintir pengacara elite telah menyalahgunakan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan finansial secara tidak etis. Gaya hidup mewah mereka menjadi bukti nyata dari bagaimana sistem hukum bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk menciptakan ketimpangan sosial.
Afif menyoroti perbedaan dramatis antara kehidupan masyarakat umum yang harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar dengan kemewahan yang dinikmati oleh para pengacara ini. Sementara keluarga-keluarga Indonesia menjual aset demi membiayai pendidikan anak-anak mereka, pengacara elite seperti Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri malah menikmati fasilitas mewah yang tak terjangkau bagi mayoritas masyarakat. Lebih dari sekadar gaya hidup, fenomena ini juga mencerminkan bagaimana keahlian hukum dapat digunakan untuk menyusun strategi yang merugikan negara secara signifikan.
Tuduhan suap kepada hakim adalah salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang terburuk yang dapat dilakukan oleh seorang pengacara. Dalam kasus ini, kedua pengacara tersebut diduga terlibat dalam upaya mempengaruhi hasil perkara melalui pembayaran ilegal kepada pihak pengadilan. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya korupsi telah merasuk ke dalam sistem hukum Indonesia.
Kasus korupsi ekspor CPO yang melibatkan tiga perusahaan raksasa sawit—Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group—menjadi contoh konkret dari kerugian besar yang dialami negara akibat praktik korupsi. Sebagai mediator hukum, pengacara seharusnya bertindak sebagai penjaga keadilan. Namun, dalam kasus ini, mereka justru memilih jalur pintas yang tidak hanya melanggar hukum tetapi juga melecehkan prinsip-prinsip konstitusi. Tindakan mereka menunjukkan betapa mudahnya sistem dapat dimanipulasi oleh individu-individu yang memiliki akses ke sumber daya dan pengaruh besar.