Dalam era transformasi digital, pengelolaan akomodasi informal seperti apartemen harian atau kos-kosan berbasis aplikasi menjadi tantangan serius bagi pelaku usaha hotel resmi. PHRI memandang bahwa langkah tegas diperlukan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang adil.
Unit-unit akomodasi informal kini semakin menjamur di Jakarta. Mereka tidak hanya mengabaikan kewajiban hukum seperti pembayaran pajak, tetapi juga melanggar standar keselamatan konsumen. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan pasar yang merugikan hotel resmi.
Menurut data dari PHRI, banyak akomodasi informal yang mampu menawarkan harga jauh lebih rendah karena tidak memiliki beban biaya operasional yang sama dengan hotel resmi. Selain itu, mereka tidak diwajibkan untuk memenuhi persyaratan administratif seperti sertifikat laik fungsi. Akibatnya, pelanggan cenderung memilih opsi yang lebih murah meskipun layanan yang diberikan belum tentu sesuai standar.
Selain masalah ekonomi, keberadaan akomodasi ilegal juga membawa risiko signifikan bagi keselamatan publik. Tanpa pengawasan yang ketat, konsumen dapat terpapar kondisi properti yang tidak memenuhi standar keamanan dan kenyamanan. Misalnya, beberapa apartemen disewakan tanpa sistem deteksi kebakaran atau akses darurat yang memadai.
Lebih lanjut, PHRI menegaskan bahwa penertiban bukan hanya soal perlindungan terhadap pelaku usaha resmi, tetapi juga demi menjamin hak konsumen. Regulasi yang tegas akan memastikan bahwa setiap penyedia akomodasi bertanggung jawab atas kualitas layanan dan keselamatan tamunya.
Pemerintah Daerah DKI Jakarta diharapkan dapat mengambil tindakan konkret untuk menertibkan unit-unit akomodasi informal. Salah satu caranya adalah dengan melakukan inspeksi berkala dan memberikan sanksi tegas kepada pihak yang tidak mematuhi aturan. Ini termasuk wajib membayar pajak serta memperoleh izin operasional.
Berdasarkan analisis PHRI, implementasi regulasi yang efektif dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui kontribusi pajak dari akomodasi informal. Saat ini, kerugian finansial yang dialami oleh hotel resmi turut berdampak pada pemotongan tenaga kerja, yang secara langsung memengaruhi ekonomi lokal.
Kehadiran akomodasi ilegal juga dapat merusak reputasi pariwisata Jakarta sebagai destinasi wisata premium. Hotel resmi yang telah memenuhi standar internasional menjadi korban utama dari praktik-praktik tidak etis tersebut. Untuk menjaga citra positif, diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen.
Industri hotel resmi saat ini masih menjadi andalan dalam menyumbang PAD DKI sebesar 13%. Angka ini menunjukkan betapa besar kontribusi sektor ini terhadap pembangunan ekonomi daerah. Oleh karena itu, langkah-langkah preventif harus segera diambil untuk melindungi keberlangsungan sektor ini.