Penetapan Zarof Ricar sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) menjadi langkah penting yang diambil oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Meskipun saat ini belum ada Undang-Undang Perampasan Aset, penggunaan pasal TPPU dipercaya dapat mengembalikan kerugian negara serta membuka akses untuk mengetahui kasus-kasus suap lainnya yang terkait. Menurut pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, penetapan tersebut memiliki dua dimensi signifikan: pertama, pengembalian aset negara; kedua, pembuktian dan pengungkapan sumber dana mencurigakan sebesar Rp951 miliar serta emas yang dimiliki Zarof. Dengan pendekatan ini, diharapkan aliran dana ilegal dapat dilacak secara menyeluruh.
Dalam perspektif hukum, langkah Kejagung tidak hanya bertujuan memidana Zarof, tetapi juga fokus pada restitusi keuangan negara. Hibnu menjelaskan bahwa dengan status tersangka TPPU, Zarof diwajibkan memberikan keterangan lebih lanjut mengenai asal-usul uang dan emas yang dikantonginya. Informasi ini sangat krusial untuk melacak apakah uang tersebut digunakan dalam rangkaian praktik korupsi atau manipulasi peradilan. “Penting bagi pihak penegak hukum untuk memastikan bahwa setiap sen dari dana itu bisa ditelusuri dan dikembalikan kepada negara,” tutur Hibnu.
Selain itu, Hibnu menyoroti potensi besar dari proses pengungkapan TPPU ini dalam membongkar jaringan mafia peradilan. Ia menyarankan agar Kejagung bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kolaborasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang jalur distribusi dana ilegal. “PPATK memiliki data yang sangat mendetail terkait transaksi finansial. Dengan dukungan mereka, Kejagung akan lebih mudah mengungkap seluruh jejak uang tersebut,” katanya.
Kemungkinan zarif dirinya untuk menutup informasi dianggap berisiko tinggi karena akan mempersulit upaya penyelidikan lebih lanjut. Hibnu menekankan bahwa keberanian Zarof dalam membuka informasi masa lalu adalah kunci untuk mempercepat proses hukum. Selain itu, ia meyakini bahwa pendekatan TPPU ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana serupa. “Dengan metode pemiskinan lewat TPPU, pesan kuat dapat disampaikan bahwa tindakan seperti ini tidak akan luput dari hukum,” imbuhnya.
Langkah progresif ini menunjukkan bahwa meski regulasi spesifik terkait perampasan aset belum ada, Kejagung tetap dapat menggunakan instrumen hukum yang ada untuk melindungi kepentingan negara. Melalui kolaborasi lintas institusi dan strategi investigasi yang cermat, diharapkan semua pihak yang terlibat dalam skema ilegal ini dapat diidentifikasi dan dipertanggungjawabkan sesuai hukum yang berlaku. Hal ini juga menegaskan komitmen penegakan hukum yang adil dan transparan di Indonesia.