Dalam sejarah Islam, kisah pertemuan antara Nabi Muhammad SAW dan saudara sepersusuannya, Syaima as-Sadiyah, membawa pesan tentang kelembutan dan pengampunan. Syaima adalah anak kandung dari Halimah as-Sadiyah, yang menjadi ibu susu Nabi ketika masih bayi. Kisah ini terjadi selama perang Hunain, dimana Syaima jatuh sebagai tawanan pasukan Muslim. Setelah puluhan tahun berpisah, mereka bertemu kembali dalam situasi yang tidak mengenakkan. Awalnya, Rasulullah ragu akan identitas Syaima hingga akhirnya ia diyakinkan melalui kenangan masa kecil mereka.
Dalam sebuah pagi yang penuh ketegangan di tahun ke-8 Hijriah, tepat setelah Fathu Makkah, pasukan Muslim dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW menghadapi serangan dahsyat dari kaum Hawazin di medan pertempuran Hunain. Meskipun awalnya pasukan Muslim hampir dikalahkan, suara keras panggilan Abu Thalib membangkitkan semangat mereka untuk bangkit kembali. Dengan bantuan Tuhan, pasukan Muslim berhasil menundukkan musuh dan merebut banyak harta rampasan serta tawanan perang.
Di antara para tawanan tersebut adalah Syaima, saudara sepersusuan Rasulullah. Dia diarak menuju hadapan Nabi dengan perlakuan kasar seperti halnya para tawanan lainnya. Saat ditempatkan di hadapan beliau, Syaima berteriak bahwa dirinya adalah saudara sepersusuan Nabi. Namun, karena sudah lebih dari 50 tahun tak bertemu, Rasulullah meragukan klaim tersebut. Untuk membuktikannya, Syaima mulai menggugah ingatan masa kecil mereka, termasuk bekas gigitan di punggungnya yang dilakukan oleh Nabi ketika masih kecil.
Saat semua bukti terungkap, keraguan Rasulullah lenyap. Ia langsung menyambut Syaima dengan hormat dan kehangatan. Sebagai bentuk penghormatan, beliau bahkan membentangkan sorban miliknya dan mempersilakan Syaima duduk di atasnya.
Dari sudut pandang seorang jurnalis, kisah ini mengajarkan nilai-nilai penting seperti kesabaran, pengampunan, dan kelembutan hati. Rasulullah menunjukkan bagaimana seseorang harus tetap menjaga hubungan baik meskipun telah lama berpisah. Kehadiran Syaima di tengah keadaan yang sulit juga memberikan pelajaran tentang pentingnya empati dalam situasi apapun. Melalui sikap beliau, kita diajarkan untuk tidak melupakan jasa-jasa orang lain, bahkan jika waktu telah memisahkan kita selama bertahun-tahun.