Pengumuman terbaru mengenai tarif timbal balik oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menimbulkan kekhawatiran mendalam di berbagai negara miskin. Keputusan ini memengaruhi sektor ekspor yang menjadi tulang punggung perekonomian mereka. Negara-negara seperti Kamboja, Bangladesh, Myanmar, Afrika Selatan, dan Lesotho menghadapi risiko signifikan akibat peningkatan bea masuk. Kebijakan ini tidak hanya memengaruhi hubungan dagang global tetapi juga dapat memperburuk kondisi ekonomi di negara-negara tersebut.
Dalam implementasinya, Kamboja menjadi salah satu negara yang paling dirugikan dengan tarif impor mencapai 49%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia dan membuat produk-produk Kamboja kurang kompetitif di pasar Amerika. Sebagai ilustrasi, industri garmen Bangladesh juga harus menelan pil pahit dengan tarif sebesar 37%, sementara Myanmar yang baru saja dilanda bencana alam menerima beban tambahan hingga 45%. Situasi ini diperparah oleh kebijakan lain dari pemerintahan Trump yang mengakhiri dukungan finansial besar-besaran kepada negara-negara berkembang.
Selain itu, Lesotho di Afrika Selatan harus menanggung beban tertinggi yaitu 50%. Perkembangan ini memicu reaksi keras dari para ahli perdagangan internasional. Menurut Deborah Elms dari Hinrich Foundation, kenaikan tarif secara mendadak hampir 50% sulit diprediksi dan akan membawa dampak buruk bagi ekonomi negara-negara tersebut. Di masa lalu, banyak negara ini menikmati akses bebas tarif ke pasar Amerika sebagai bagian dari program untuk mendukung negara-negara kurang berkembang.
Kini, dengan hilangnya akses tersebut, negara-negara ini perlu mencari peluang baru di pasar global. Eropa, Jepang, dan Australia menjadi alternatif potensial untuk menggantikan permintaan yang lemah di AS dan Tiongkok. Namun, proses transisi ini tidaklah mudah karena melibatkan aturan perdagangan yang rumit serta persaingan ketat di pasar-pasar tersebut. Dengan penghasilan harian rata-rata penduduk Kamboja yang hanya sekitar Rp109 ribu, dampak dari kebijakan ini bisa sangat merusak bagi kelangsungan hidup warga negara tersebut.
Berbagai analis memperingatkan bahwa langkah ini dapat menyebabkan krisis ekonomi yang lebih dalam di negara-negara termiskin. Penerapan tarif tinggi ini bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang nasib jutaan pekerja di sektor padat karya yang bergantung pada ekspor. Tanpa adanya dukungan internasional yang kuat, negara-negara ini mungkin akan kesulitan untuk pulih dari dampak kebijakan ini.