Parlemen Indonesia memberikan sorotan tajam terhadap kinerja dua perusahaan farmasi pelat merah, yakni PT Indofarma Tbk dan PT Kimia Farma Tbk. Isu utama yang muncul melibatkan penggunaan pinjaman online (pinjol) oleh karyawan Indofarma serta penunggakan gaji kepada 12.000 pegawai di Kimia Farma. Anggota Komisi VI DPR, Imas Aan Ubudiah, menyatakan bahwa meskipun rencana strategis kedua perusahaan tampak baik, implementasinya masih menimbulkan keraguan besar. Selain itu, keuntungan dari 1.054 apotek Kimia Farma ternyata tidak sesuai harapan karena harga obatnya kurang kompetitif.
Pada periode kuartal III-2024, Kimia Farma mencatat kerugian sebesar Rp 421,8 miliar, meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, Indofarma juga mengalami kerugian bersih sekitar Rp 166,48 miliar, meskipun jumlah ini turun dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Situasi ini memperkuat pandangan anggota DPR bahwa pemimpin perusahaan harus lebih tanggap dalam menghadapi tantangan ekonomi dan sosial.
DPR menyoroti isu serius yang melibatkan praktik penggunaan pinjaman online oleh karyawan Indofarma. Menurut anggota Komisi VI, hal ini telah menjadi jejak digital negatif yang sulit dihapuskan. Meskipun direksi perusahaan memiliki rencana yang baik, implementasi di lapangan dinilai belum memenuhi harapan publik.
Situasi ini diperparah dengan kondisi finansial perusahaan yang masih merugi. Pada kuartal III-2024, Indofarma mencatat kerugian sebesar Rp 166,48 miliar. Kritik tersebut tidak hanya berfokus pada performa keuangan, tetapi juga pada etika kepemimpinan yang dianggap melemah. Para pimpinan perusahaan disebut gagal menjaga integritas institusi dan perlindungan bagi para pekerjanya. Ini menjadi bukti nyata bahwa manajemen harus melakukan evaluasi mendalam untuk memperbaiki citra dan operasional perusahaan.
Kimia Farma menghadapi tantangan besar terkait penunggakan gaji kepada sekitar 12.000 karyawannya. Meski memiliki jaringan luas dengan 1.054 apotek, perusahaan masih merugi sebesar Rp 421,8 miliar pada kuartal III-2024. Faktor penyebabnya antara lain adalah harga obat yang kurang kompetitif dibanding pesaing. Hal ini membuat konsumen beralih ke pilihan lain, sehingga pendapatan perusahaan terus menurun.
Anggota DPR dari Fraksi PKB menyoroti ketidakmampuan Kimia Farma untuk memenuhi kebutuhan dasar karyawannya seperti pembayaran gaji tepat waktu. Situasi ini semakin memperburuk citra perusahaan sebagai BUMN yang seharusnya menjadi teladan dalam manajemen sumber daya manusia dan keuangan. Di sisi lain, meskipun ada keluhan terkait harga obat, layanan medis yang diberikan oleh Kimia Farma di beberapa wilayah seperti Garut dan Tasikmalaya masih diakui cukup memuaskan. Namun, untuk mempertahankan posisinya di pasar, perusahaan harus segera menyesuaikan strategi bisnis agar lebih efisien dan dapat bersaing secara global.