Pusat perbelanjaan pertama di Indonesia, Sarinah, memiliki sejarah yang kaya dengan nilai-nilai sosial yang ingin ditanamkan oleh Bung Karno. Proyek ini lahir dari ambisi besar Presiden pertama untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang unggul di mata dunia. Pada era 1960-an, ketika perekonomian sedang menghadapi tantangan berat seperti inflasi tinggi, Soekarno tetap melanjutkan proyek-proyek monumental, termasuk pembangunan pusat perbelanjaan modern pertama di Asia Tenggara.
Visi Soekarno tentang mall tidaklah sama dengan konsep kapitalis yang kita kenal saat ini. Ia memandang bahwa pusat perbelanjaan harus menjadi sarana promosi bagi produk-produk lokal, terutama hasil industri kecil dan menengah serta pertanian. Dengan harga terjangkau, mall ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga pasar secara keseluruhan. Ide ini tercermin dalam pernyataannya bahwa barang-barang di dalam mall akan mempengaruhi harga di luar karena penawaran yang lebih kompetitif.
Berdiri pada tahun 1962, Sarinah resmi dibuka empat tahun kemudian pada 17 Agustus 1966. Era itu ditandai dengan inovasi teknologi seperti penggunaan pendingin udara dan eskalator pertama di wilayah tersebut. Meskipun awalnya sukses menjadi etalase produk lokal yang murah, perubahan orientasi ekonomi nasional pada masa pemerintahan selanjutnya membuat Sarinah beralih dari fokus utamanya. Kini, meskipun Jakarta telah dipenuhi oleh ratusan mal mewah, cita-cita Soekarno tentang pusat perbelanjaan ramah konsumen semakin sulit direalisasikan.
Sejarah Sarinah mengajarkan pentingnya visi pemimpin dalam merancang strategi pembangunan yang inklusif. Melalui proyek ini, Soekarno membuktikan bahwa infrastruktur tidak hanya dirancang untuk menciptakan kemewahan, tetapi juga dapat menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nilai-nilai seperti pendayagunaan produk lokal dan harga terjangkau patut dijadikan inspirasi bagi generasi penerus dalam mengembangkan solusi ekonomi yang berpihak pada rakyat banyak.