Seorang pengusaha kaya dari Aceh mengalami nasib tragis meskipun telah memberikan kontribusi besar kepada negara. Teuku Markam, yang dikenal sebagai salah satu crazy rich Indonesia pada masanya, harus menanggung penderitaan setelah membantu proyek monumental nasional. Alih-alih menerima penghargaan atas sumbangan 28 kg emas untuk Monumen Nasional (Monas), ia justru dihadapkan pada tuduhan tanpa bukti dan akhirnya dipenjara selama sembilan tahun. Kisah hidupnya mencerminkan perubahan politik dan ekonomi di Indonesia pada era transisi kepemimpinan.
Dilahirkan pada tahun 1924, Teuku Markam memulai karir bisnisnya pada tahun 1957 melalui PT Karkam, sebuah perusahaan yang berfokus pada ekspor karet. Perusahaan ini menjadi satu-satunya di Indonesia yang memiliki hak eksklusif untuk mengirim karet dari Sumatera Selatan ke Singapura dan Malaysia. Dengan kedudukannya sebagai pebisnis sukses, Markam juga mendapatkan lisensi impor mobil Nissan dan semen dari Jepang. Keberhasilan dalam dunia usaha membuatnya menjadi salah satu tokoh kaya yang terkenal di Jakarta, dengan gaya hidup mewah yang meliputi pesta-pesta besar yang sering dihadiri oleh Presiden Soekarno.
Puncak dedikasinya kepada bangsa Indonesia adalah sumbangan 28 kg emas untuk pembuatan pucuk Monas. Namun, hubungan dekatnya dengan Soekarno menjadi bumerang ketika rezim berubah ke tangan Soeharto. Pada tahun 1966, harta benda Markam disita oleh negara tanpa proses hukum yang adil. Tuduhan korupsi dan keterlibatan dalam pemberontakan G30S dilontarkan padanya, meskipun tidak ada bukti kuat. Akibatnya, ia dijatuhi hukuman penjara selama sembilan tahun.
Selama masa penjaranya, perusahaan PT Karkam diambil alih oleh negara dan diubah menjadi BUMN bernama PT Berdikari. Setelah bebas, Markam mencoba memulihkan bisnisnya, tetapi sudah tidak bisa mencapai kejayaan seperti sebelumnya. Hidupnya berakhir pada tahun 1985 karena penyakit diabetes dan liver, meninggalkan warisan yang menyedihkan bagi seorang patriot yang pernah memberikan segalanya untuk negaranya.
Kisah Teuku Markam menggambarkan bagaimana loyalitas dan kontribusi kepada negara tidak selalu dihargai dengan cara yang adil. Ia adalah contoh nyata dari seorang pengusaha yang berhasil membangun kerajaan bisnis, namun akhirnya runtuh karena perubahan politik dan sistem hukum yang tidak mendukung. Meski demikian, sumbangsihnya terhadap Monas akan selalu diingat sebagai simbol dedikasi seorang pemimpin bisnis yang sayangnya tidak mendapatkan apresiasi yang layak.