Sebuah bab baru telah dimulai di negara Teluk, Oman, setelah kepergian pemimpin yang berkuasa selama lima dekade. Pemilihan Sultan Haitham bin Tariq al Said sebagai penerus takhta mencerminkan dinamika politik yang kompleks dalam keluarga kerajaan. Perubahan kepemimpinan ini tidak hanya menandai akhir dari era panjang tetapi juga membuka jalan bagi masa depan yang penuh tantangan.
Sultan Qaboos, sosok yang dikenal karena kebijaksanaannya dalam menjaga stabilitas regional, berhasil menjadikan Oman sebagai pelopor perdamaian meskipun berada di tengah-tengah konflik yang membara. Dengan strategi diplomasi yang cermat, ia mempertahankan netralitas negaranya di tengah pertentangan antara Qatar dan negara-negara tetangganya serta memainkan peran kunci dalam pembebasan tawanan internasional dan mediasi perjanjian nuklir global. Meski demikian, penurunan kondisi kesehatannya dalam beberapa tahun terakhir meningkatkan spekulasi tentang siapa yang akan mengambil alih kendali atas negara tersebut.
Kehidupan politik Oman dipenuhi dengan cerita-cerita luar biasa, termasuk asal-usul kekuasaan Sultan Qaboos sendiri melalui pergantian kekuasaan internal. Kekhawatiran akan potensi ancaman dari calon penerus sebelum waktunya mendorong sistem seleksi rahasia yang unik. Proses ini akhirnya berlangsung tanpa gangguan, menunjukkan bahwa persiapan telah dilakukan jauh sebelum pengumuman resmi. Diantara para calon, Haitham bin Tariq al Said muncul sebagai nama yang dipilih untuk melanjutkan warisan Sultan Qaboos, mengejutkan banyak pihak yang mengira saudara tirinya, Assad, menjadi favorit utama.
Perjalanan sejarah Oman menunjukkan pentingnya stabilitas dan kesinambungan kepemimpinan dalam menghadapi tantangan global. Melalui kebijaksanaan dan visi jangka panjang, Sultan Qaboos telah membawa negaranya menuju kedamaian dan kemajuan. Dengan pemilihan Sultan baru, harapan besar terletak pada Haitham bin Tariq al Said untuk melanjutkan tradisi diplomasi yang telah membuat Oman tetap kokoh di tengah badai geopolitik dunia.