Melalui langkah revolusioner ini, Presiden AS Donald Trump memastikan bahwa aturan yang menghambat penjualan senjata kepada sekutu utama AS akan diperbarui demi meningkatkan efisiensi dan kolaborasi internasional.
Pada dasarnya, reformasi sistem ekspor senjata ini bertujuan untuk mengubah cara kerja administrasi AS dalam menjalin hubungan dagang militer dengan negara-negara sekutu. Salah satu inovasi utama adalah penyesuaian ambang batas transaksi yang memicu tinjauan Kongres. Dengan kenaikan dari USD14 juta menjadi USD23 juta untuk transfer senjata serta dari USD50 juta menjadi USD83 juta untuk penjualan peralatan militer, peluang untuk mempercepat kesepakatan semakin besar.
Selain itu, reformasi ini juga memungkinkan fleksibilitas lebih bagi anggota NATO dan sekutu dekat AS seperti Jepang, Israel, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Negara-negara tersebut hanya memerlukan pemberitahuan 15 hari kepada Kongres sebelum melakukan transaksi, dibandingkan dengan periode 30 hari untuk negara lainnya. Hal ini mencerminkan prioritas strategis AS terhadap aliansi-aliansi penting dalam skenario geopolitik modern.
Penerapan kebijakan ini memiliki potensi signifikan terhadap stabilitas regional dan pertumbuhan ekonomi global. Dengan mempercepat proses penjualan senjata kepada sekutu, AS tidak hanya memperkuat posisi dominannya sebagai eksportir senjata terbesar dunia, tetapi juga membantu mitra-mitranya dalam mempertahankan keamanan nasional mereka. Misalnya, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), yang telah lama menjadi pelanggan setia produk-produk militer AS, dapat menerima persenjataan lebih cepat tanpa hambatan birokrasi.
Di sisi lain, ada tantangan berupa kekhawatiran terkait hak asasi manusia dan konflik regional. Kasus-kasus seperti kampanye udara di Yaman dan insiden pembunuhan Jamal Khashoggi telah menimbulkan kritik dari parlemen AS terhadap penjualan senjata kepada negara-negara tertentu. Oleh karena itu, kebijakan ini harus diseimbangkan dengan pertimbangan moral dan etika dalam diplomasi militer.
Penghapusan hambatan ekspor senjata ini juga memberikan gambaran tentang arah industri pertahanan global di masa mendatang. Sebagai salah satu sektor dengan pertumbuhan pesat, industri ini diproyeksikan akan mencatat pendapatan sebesar USD2 triliun pada tahun 2030. Dengan kebijakan baru ini, AS berupaya mempertahankan posisi pemimpin pasar global sambil menyesuaikan diri dengan permintaan yang semakin kompleks dari pelanggan internasional.
Lebih lanjut, tren digitalisasi dan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan drone otonom diprediksi akan memainkan peran sentral dalam transformasi industri pertahanan. Para ahli menyatakan bahwa kebijakan AS kali ini dapat menjadi model bagi negara-negara lain dalam merumuskan strategi ekspor senjata yang lebih kompetitif dan adaptif.