Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia baru saja menyelesaikan sidang pendahuluan terkait sebelas perkara yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam proses ini, satu perkara telah dicabut oleh pemohon, sementara sepuluh perkara lainnya memerlukan perbaikan dokumen oleh para pemohon. Sidang ini dipimpin oleh beberapa hakim konstitusi dan melibatkan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia sebagai pemohon. Salah satu sorotan utama adalah permintaan ganti rugi miliaran rupiah kepada lembaga negara seperti DPR, Baleg, dan Presiden oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam. Permintaan ini kemudian dinyatakan tidak lazim oleh hakim MK.
Dalam sidang yang digelar pada awal bulan Mei 2025, hakim-hakim konstitusi memberikan masukan mendetail kepada para pemohon untuk memperbaiki dokumen gugatan mereka. Masukan ini mencakup aspek-aspek seperti penyusunan dalil permohonan, struktur dokumen, pertimbangan hukum, serta petitum yang diajukan. Hakim memberikan tenggat waktu dua minggu bagi para pemohon untuk melakukan perbaikan, baik dalam bentuk hardcopy maupun softcopy. Jika batas waktu tersebut dilewatkan, maka dokumen yang telah diajukan sebelumnya akan tetap digunakan sebagai dasar peninjauan.
Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah tuntutan oleh sekelompok mahasiswa dari Universitas Internasional Batam. Mereka mengajukan dua jenis petitum: petitum primair dan petitum alternatif. Dalam petitum alternatif, mereka meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Nomor 3 Tahun 2025 inkonstitusional. Selain itu, mereka juga menuntut ganti rugi sebesar Rp50 miliar kepada pimpinan dan anggota DPR, Rp25 miliar kepada Presiden, serta Rp5 miliar kepada Baleg DPR. Dana tersebut diminta disetorkan ke kas negara.
Hakim Enny Nurbaningsih menyatakan bahwa permintaan ini tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di MK. Menurutnya, MK tidak memiliki kewenangan untuk memberikan hukuman kepada lembaga-lembaga negara seperti DPR, Baleg, atau bahkan Presiden. "Tuntutan semacam ini tidak lazim dan bertentangan dengan aturan prosedural yang ada," ujar Enny dalam sidang daring yang dilakukan pada tanggal 9 Mei 2025.
Tidak hanya itu, kelompok mahasiswa ini juga meminta pengenaan denda harian jika putusan MK tidak dilaksanakan. Besaran denda yang diminta mencapai Rp25 miliar per hari untuk DPR, Rp12,5 miliar untuk Presiden, dan Rp2,5 miliar untuk Baleg DPR. Permintaan ini jelas-jelas dinilai berlebihan dan tidak sesuai dengan mandat MK sebagai lembaga penjamin konstitusionalitas.
Sidang ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap mekanisme hukum konstitusi di kalangan generasi muda. Meskipun tuntutan mereka dianggap tidak sesuai prosedur, upaya mahasiswa ini dapat dianggap sebagai langkah positif dalam meningkatkan kesadaran hukum dan partisipasi publik dalam sistem demokrasi Indonesia. Melalui proses ini, diharapkan para pemohon dapat memperbaiki dokumen mereka sehingga lebih sesuai dengan standar hukum yang berlaku.